Ini Pentingnya Komunikasi Dua Arah soal Kesehatan Reproduksi

Ini Pentingnya Komunikasi Dua Arah soal Kesehatan Reproduksi

Pembicaraan mengenai kesehatan reproduksi dan hubungan seksual masih tertutup di Indonesia, baik pada kelompok remaja, orang tua, maupun pasangan muda. Setidaknya, inilah yang ditemukan dalam survei oleh Reckitt Beckinsen. Survei dilakukan di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya, dengan total 1.500 responden dari beragam status ekonomi sosial dan jenis kelamin yang seimbang. Hasil survei dipaparkan dalam talkshow Eduka5eks Dureks di Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Berdasarkan survei tersebut, hanya 38% responden di kelompok remaja yang membicarakan soal kehamilan dan pernikahan <20 tahun dengan orang tua. Hanya 29% yang membahas detil tentang anatomi tubuh dan organ reproduksi dengan orang tua, dan hanya 24% yang mendiskusikan hubungan seksual yang sehat, termasuk penggunaan kontrasepsi.

Bisa jadi, penyebabnya karena remaja merasa tidak nyaman membahas persoalan ini dengan orang tua. Disebutkan oleh dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia, “Sebanyak 61% responden remaja takut dihakimi oleh orangtua bila bertanya soal kesehatan reproduksi dan seksual, dan 57% bisa lebih terbuka bila bicara dengan teman. Padahal, teman bukanlah sumber yang tepat mengenai masalah ini.

Pada kelompok orang tua, hanya 20% yang berdiskusi dengan anak tentang pernikahan dan kehamilan <20 tahun beserta risikonya, 19% yang berdiskusi tentang potensi HIV/AIDS bila anak tidak setia pada satu pasangan, dan hanya 10% yang menjelaskan tentang aktivitas seksual yang aman, termasuk penggunaan kontrasepsi secara tepat.

“Ternyata, pasangan muda yang kita anggap berpikiran terbuka pun, hasil surveinya tidak jauh berbeda,” ungkap dr. Helena. Hanya 24% pasangan yang mendiskusikan edukasi seks bagi anak-anak pada fase pubertas, dan hanya 35% yang berdiskusi dengan pasangan tentang infeksi menular seksual (IMS) beserta pencegahannya. Ada keenganan di kelompok pasangan muda untuk mendiskusikan masalah seksualitas dan reproduksi secara terbuka karena takut dihakimi oleh keluarga. 

Sebagian orang tua masih berpikir bahwa seks dan kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu untuk dibicarakan, sehingga 64% responden merasa tidak bisa menyampaikan dan mengomunikasikan topik ini kepada anaknya. “Malah, 63% orang tua khawatir, edukasi seks justru akan memotivasi anak untuk berhubungan seks pranikah,” lanjut dr. Helena. Padahal justru menutup-nutupi perbincangan soal seks akan menjadi bumerang di kemudian hari. Salah satunya, peningkatan kasus HIV/AIDS.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menemukan, usia 15-19 tahun adalah rentang usia paling tinggi saat remaja pertama kali melakukan hubungan seksual. “Sementara itu data Kementrian Kesehatan menunjukkan 52,5% penderita HIV dan IMS berusia kurang dari 30 tahun. Data-data ini membuka mata kita bahwa ternyata edukasi tentang kesehatan reproduksi kita belum terlalu baik,” tegas dr. Hanny Nilasari, Sp.KK, Ketua Umum Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI). Terlebih, sebagian besar tidak menggunakan kondom saat berhubungan.

Bayangkan bila kondisi ini terus dibiarkan. Anak-anak remaja melakukan hubungan seks berisiko tanpa memahami konsekuensinya. Saat mereka dewasa dan berumah tangga, konsekuensi ini akan terus terbawa. Data menunjukkan, terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS pada kelompok ibu rumah tangga. “Awalnya, mereka bukan populasi yang berisiko. Tapi karena suami sering melakukan hubungan seksual yang berisiko, maka diprediksi, ibu rumah tangga akan menjadi populasi dengan HIV/AIDS paling tinggi pada 2025,” sesal dr. Hanny. Sekalipun misalnya pasangan suami istri (pasutri) saling setia dengan istri/suami masing-masing, hubungan seksual berisiko yang mereka lakukan saat remaja dulu mungkin sudah membuat mereka tertular HIV, yang lalu ditularkan kepada pasangannya dalam pernikahan. Bila pasutri tidak saling terbuka soal perilaku hubungan seksual, baik di masa lampau maupun masa kini, masing-masing tidak akan menyadari risiko HIV/AIDS yang mungkin mengintai. Akhirnya, lahirlah anak-anak dengan HIV/AIDS. Lingkaran setan ini hanya bisa diputus dengan edukasi seks yang tepat.

 

Mulailah berdiskusi

Orang tua dan anak perlu sama-sama memecah kebisuan, dan mulai berdiskusi seputar kesehatan reproduksi dan seksual secara terbuka. Memang idealnya, edukasi seksual dimulai sedini mungkin, bahkan sejak anak berusia batita. Dimulai dengan pengenalan anatomi termasuk organ-organ reproduksi, dengan menyebut sesuai namanya. Namun tak ada kata terlambat; mulailah berdiskusi, berapapun usia anak sekarang.

Sesuaikan topik pembahasan dan cara berdiskusi dengan usia anak sekarang. “Misalnya anak sekarang berusia 14 tahun, jangan langsung membicarakan kesehatan reproduksi dari A sampai Z,” ujar Inez Kristanti, M.Psi., dari Klinik Angsamerah. Mulailah secara bertahap, dan awalnya.

Ia melanjutkan, anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, tapi takut dihakimi oleh orangtua. Untuk itu, pertama kali, perbaiki dulu hubungan dan komunikasi dengan anak. Orang tua sendiri harus memiliki pengetahuan yang mumpuni soal reproduksi dan seksualitas. Berikan anak akses ke sumber yang kredibel dan terpercaya, serta menarik. “Yang terpenting, anak mau mengakses. Mereka akan lebih tertarik bila paparan informasinya mudah dicerna, tidak menyeramkan, dan tidak menghakimi,” tutur Inez.

Penting untuk membangun komunikasi dua arah. “Bila informasi diberikan satu arah dan sifatnya mengancam, anak malah mencari tahu dari tempat lain. Dengan membicarakan seksualitas secara komprehensif, kita membekali anak dengan pengetahuan, sehingga mereka bisa membuat keputusan sendiri dengan bertanggung jawab,” pungkasnya. (nid)

___________________________________________

Foto: dokumen Edelman