Pendengaran berkurang. Telinga berdenging. Tuli mendadak. Dunia tanpa suara dapat menjadi salah satu bentuk komplikasi diabetes melitus. Hati-hati…
Berkaca dari data American Diabetes Association (ADA), hampir 26 juta orang Amerika Serikat mengidap diabetes, dan 34,5 juta lainnya mengalami gangguan pendengaran dengan tingkat yang berbeda-beda. Sebagian kesulitan mendengar suara latar belakang, atau mendengar percakapan dalam kelompok besar, serta sering mengubah volume radio/TV. Sebagian lain mengalami tuli mendadak.
Penelitian di Jepang pun mengungkapkan bahwa masalah pendengaran lebih umum terjadi pada diabetesi (penderita diabetes) ketimbang masalah kesehatan lainnya. Tim peneliti dari Niigata University tersebut menemukan bahwa diabetesi mempunyai peluang dua kali lebih tinggi untuk mengalami masalah pendengaran dibandingkan mereka yang tidak terkena diabetes.
Diabetes melitus (DM) merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan naiknya glukosa darah, serta perubahan metabolisme lemak dan protein. Kelainan ini menyebabkan komplikasi mikrovaskular (pembuluh darah mikro) pada banyak organ tubuh, seperti mata, ginjal dan sistem saraf tepi (perifer).
Pada fungsi dengar, “Terjadi gangguan sirkulasi di koklea (rumah siput). Menyebabkan kerusakan sel-sel rambut,” terang dr. Armelia AR, Sp.THT-KL, dari RS. Gading Pluit, Jakarta.
Koklea (berada di telinga bagian dalam) berfungsi penting untuk pendengaran. Mengubah bunyi dari getaran menjadi sinyal, kemudian dikirimkan ke otak melalui saraf auditori. Proses tersebut dilakukan oleh sel sensor khusus (sel rambut) yang berada dalam koklea.
Koklea merupakan organ yang sangat bergantung pada asupan glukosa (tidak memiliki cadangan glukosa). Gangguan pembuluh darah (penurunan aliran darah), tambah dr. Armelia, membuat koklea tidak mendapat cukup asupan energi. Muncul dalam bentuk penderita seperti mendengar suara bising (tinnitus) atau mengalami tuli mendadak.
Riset oleh Srinives tahun 2016 memaparkan, diabetesi dengan HbA1C (rata-rata glukosa darah dalam 3 bulan) lebih dari 8, dan menderita DM lebih dari 10 tahun memiliki risiko tuli mendadak sampai 85%.
Terapi
Pada gangguan pendengaran berupa suara bising atau tinnitus, penderita mendapat pengobatan berupa obat penenang (diazepam, lorazepam, alprazolam), vitamin & mineral (mecobalamin), atau herbal (ginko biloba).
Pendekatan lainnya dengan melakukan tinnitus retraining therapy (TRT); kombinasi konseling dan terapi suara. “Tujuannya melatih penderita membiasakan diri dengan bunyi bising, tidak memperhatikan tinnitus tersebut,” turur dr. Armelia. Serta melakukan terapi kognitif (cognitive behavioral therapy / CBT) agar pola pikir penderita berubah, terhindar dari stres dan depresi.
Sementara pada kasus tuli mendadak diberikan obat kortikosteroid, dikombinasikan dengan terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik terbukti mampu meningkatkan imunitas, menaikkan pengantaran oksigen, mengurangi kondisi iskemia dan meningkatkan kemampuan mendengar.
“Setelah terapi penderita dianjurkan melakukan tes audiometri tiap 5 hari, selama 2 minggu,” pungkas dr. Armelia. (jie)