Tranplantasi merupakan terapi pengganti ginjal lainnya, selain dialisis. Menurut Tunggul D. Sitomorang, Sp.PD-KGH praktik di RS Ginjal Cikini, Jakarta, transplantasi adalah pilihan yang ideal. “Dibandingkan dengan dialisis, harapan hidup pasien lebih lama dan kualitas hidup lebih prima,” ujarnya. Prosedur transplantasi cukup dilakukan satu kali, dan setelahnya cukup kontrol secara berkala.
Selain itu, transplantasi menggantikan fungsi ginjal yang rusak dengan lengkap. Tidak seperti dialisis, yang tidak dapat membersihkan seluruh zat sisa. Mantan pesepakbola asal Kroasia, Ivan Klasnic, bermain di Piala Eropa 2008 setelah menjalani transplantasi ginjal pada 2007. Secara ekonomi pun lebih efektif. Biaya hemodialisis selama 3 tahun setara dengan biaya operasi transplantasi yang berhasil.
Kisah Klasnic membuktikan bahwa tidak ada hambatan bagi penerima transplantasi ginjal untuk beraktivitas dan berkarya seperti orang lain. “Transplantasi sangat didambakan oleh pasien karena akan memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan angka kematian,” ujar dr. Dharmeizar, Sp.PD-KGH dari FK Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Terlebih kini teknik operasi dan obat-obatan telah berkembang demikian pesat sehingga makin aman, dan angka keberhasilan transplantasi semakin baik. Dokter Indonesia pun tidak kalah canggih dengan di luar negeri. Durasi operasi pun sekarang makin singkat; sekitar 2 jam untuk donor, dan 3 jam untuk resipien.
Pagi pendonor, ada pilihan operasi pengambilan ginjal dengan teknik laparoskopi. Ini sudah bisa dikerjakan di Indonesia. Dengan teknik ini, tidak dilakukan bedah terbuka, melainkan cukup dengan tiga sayatan kecil di perut bagian bawah. “Luka pasca operasi lebih ringan karena tidak memotong otot di pinggang,” terang dr. Chaidir A. Mochtar. Ph.D, Sp.U dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jumlah darah yang keluar selama operasi lebih sedikit dan luka bekas operasi nyaris tak terlihat. Masa pemulihan operasi pun lebih cepat. Untuk resipien (penerima) ginjal, transplantasi masih dilakukan dengan operasi terbuka.
Kendala
Masalah ketersediaan ginjal selau jadi kendala utama. Kebutuhan terhadap donor yang sangat tinggi, berbanding terbalik dengan ketersediaan donor. Karena itu di seluruh dunia, sedang diupayakan untuk meningkatkan donor jenazah; tidak akan bisa bila hanya mengandalkan donor hidup. Orang yang ingin menyumbangkan ginjalnya bisa datang ke pusat transplantasi ginjal di RS tertentu, lalu dicari kecocokannya dengan calon resipien di daftar tunggu. Setelah itu, ginjal bisa disumbangkan saat dia masih hidup, atau ketika meninggal.
Di Indonesia, donor jenazah tampaknya masih sulit dilakukan karena terkendala banyak faktor: agama, budaya dan lain-lain. Meski sebenarnya pada 1995, Prof. Sidabutar, pelopor bedah ginjal Indonesia, telah mengumpulkan semua pemuka agama. Telah dibuat kesepakatan yang menyetujui donor jenazah, tapi hingga saat ini belum ada eksekusi secara legal. Karenanya di Indonesia, transplantasi ginjal masih sepenuhnya mengandalkan donor hidup.
Pada dasarnya, siapa saja bisa menjadi donor ginjal. Asalkan sudah berusia >18 tahun. Dianggap pada umur ini, calon donor sudah bisa memutuskan secara dewasa dan penuh pertimbangan. Syaratnya hanya sehat fisik dan psikis, serta mendonorkan ginjal dengan ikhlas atas kemauan sendiri dan tanpa tujuan komersil.
Mereka yang ingin mendonorkan ginjal tidak perlu takut; harapan hidup pendonor tidak berbeda dengan orang lain. Penelitian selama 40 menunjukkan, tidak ada perbedaan bermakna antara pendonor dengan populasi umum. Tentu bila ditunjang dengan pola hidup yang baik dan kontrol teratur. “Menjadi donor tidak berarti jadi punya keterbatasan. Tetap bisa melakukan semua hal: bekerja, punya anak,” ujar dr. Dharmeizar. Berdasarkan pengalamannya, seorang perempuan yang mendonorkan ginjal untuk keponakannya, di kemudian hari bisa punya anak lagi.
Justru, donor bisa jadi lebih sehat. Ini karena mereka lebih berhati-hati dalam menjaga pola hidup. Makan lebih dijaga, mengupayakan aktivitas fisik, dan menjaga istirahat yang cukup. (nid)