Tampaknya, vaksin hepatitis C tidak lagi dianggap “seksi” untuk ditemukan, karena pengobatan hepatitis C sudah mengalami lompatan besar. Dulu, obat antivirus hepatitis C adalah interferon, yang diberikan dengan cara disuntik 3x seminggu. Lalu ditambah obat ribavirin yang diminum (oral). Lalu muncul interferon yang bisa diberikan satu kali seminggu, tetap dengan kombinasi ribavirin. Namun dengan kombinasi ini pun, angka keberhasilan hanya sekitar 65%. Belum lagi efek samping dari interferon yang terbilang berat, dan relatif mahal.
Pada 2012, muncullah obat DAA (direct-acting antiviral) generasi baru; inilah lompatan besar dalam pengobatan hepatitis C. “Tidak perlu suntik, Cuma minum. Efek sampingnya hampir tidak ada, dan angka keberhasilannya lebih dari 95%,” tutur dr. Irsan Hasan Sp.PD-KGEH, Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dalam diskusi Infeksi Hepatitis C dan Penanganan Komplikasinya yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (16/08/2017).
Maka, sekarang target pengobatan hepatitis C adalah sembuh. “Karena efek samping DAA ringan, jarang pasien yang menghentikan pengobatan,” imbuhnya. Sayangnya, obat ini sangat mahal. Sofosbuvir misalnya, harga per tablet mencapai US$ 1.000 atau Rp. 13 juta. Obat perlu diminum setiap hari, selama 3 bulan tanpa sirosis, dan 6 bulan bila sudah ada sirosis. Padahal, penderita hepatitis C banyak di negara miskin dan berkembang, yang tentu sangat kesulitan bila harus membeli obat semahal itu.
Berdasarkan peraturan, hak paten obat berlangsung 10 tahun; selama rentang waktu tersebut, tidak boleh dibuat versi generiknya. Namun mengingat kebutuhan akan DAA sangat mendesak, akhirnya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) memperbolehkan >100 negara yang dinilai miskin, termasuk Indonesia, untuk mengedarkan DAA versi generic, dengan mengimpor dari India. “India memproduksi DAA dan yang ada di India adalah pabrik yang mendapat lisensi dari pabrik originalnya,” terang dr. Irsan.
Saat ini sudah ada setidaknya 5 obat DAA yang sudah teregistrasi di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) yaitu sofosbuvir, simeprevir, sofosbuvir + ledipasvir, grazoprevir + elbasvir dan daclatasvir. DAA sudah bisa dibeli di apotek atas resep dokter, dengan harga sekitar Rp 4 juta per botol. Jauh lebih murah dibandingkan obat originalnya. Dengan kondisi seperti ini, semua orang yang positif hepatitis C bisa segera diobati. Tidak seperti dulu, di mana pengobatan harus dipertimbangkan dulu, apakah manfaatnya lebih besar daripada efek sampingnya.
Dijelaskan oleh dr. Wiendra Woworuntu M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2PL Kemenkes RI, dari DAA yang ada di Indonesia, baru tiga jenis yang masuk ke formularium nasional, yakni sofosbuvir, simeprevir dan ribavirin. “Pelayanan dan akses obat hepatitis C akan didorong ke layanan BPJS, termasuk pemeriksaan diagnostik dan juga evaluasi terapi berupa pemeriksaan HCV-RNA dan genotipe, juga termasuk fungsi hati,” paparnya.
Kemenkes menargetkan 6.000 pasien hepatitis C yang bisa dibiayai pengobatannya oleh BPJS. “Munculnya obat-obat baru hepatitis dengan tingkat kesembuhan sampai di atas 95% itu sangat spektakuler dan ini memang yang ditunggu-tunggu kita semua,” tandas Wiendra.WHO dan Kemenkes menargetkan eliminasi hepatitis C pada 2030. Program yang dilakukan Kemenkes antara lain penyediaan obat dan skrining, dengan harapan skrining hepatitis C dapat dilakukan di tingkat Puskesmas. (nid)