Harapan baru bagi penderita kanker limfoma atau getah bening, khususnya jenis limfoma Hodgkin. Terapi target yang hanya menyasar pada antibodi sel tumor limfoma Hodgkin sudah tersedia di Indonesia.
Secara global, lebih dari 62.000 orang terdiagnosa limfoma Hodgkin, dengan sekitar 25.000 orang meninggal tiap tahunnya. Data Globocan 2012, terdapat sekitar 1.168 orang kasus baru di Indonesia, dengan jumlah kematian lebih dari separuhnya (687 jiwa).
Kanker limfoma hodgkin merupakan kanker yang menyerang sistem kelenjar getah bening (limpa), ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel-sel limfosit tipe B (sel darah putih yang bertugas melawan infeksi dan memproduksi antibodi) berlipat ganda dengan cara tidak biasa dan bermutasi menjadi sel kanker.
Sel-sel tersebut terus bertambah banyak hingga membunuh sel-sel yang sehat dan menyebabkan tubuh rentan terhadap penyakit, menyebabkan munculnya gejala.
“Data menunjukkan mayoritas penderitanya ada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda. Lebih dari sepertiga kasus ditemukan di usia 15-30 tahun, menyumbang sekitar 20% dari total kasus limfoma,” papar Prof. Dr. dr. Arry H. Reksodiputro, SpPD-KHOM, Ketua Perhimpunan Hematologi-Onkologi Medik (PERHOMPEDIN).
Kanker limfoma hodgkin termasuk kanker yang agresif dan jarang ditemukan jika dibandingkan kanker lain. Sayangnya karena tidak umum, banyak masyarakat tidak mengenal faktor risiko dan gejalanya. Padahal 80% kasus limfoma hodgkin dapat disembuhkan melalui kemoterapi, jika terdeteksi dini.
Gejala dan faktor risiko
Gejala paling umum kanker limfoma hodgkin adalah benjolan pada kelenjar getah bening yang ditemui di daerah leher, ketiak dan pangkal paha.
Gejala lain termasuk demam, berkeringat di malam hari, kelelahan yang berlebihan, kehilangan nafsu makan, batuk berkepanjangan dan perut membesar (disebabkan oleh pembesaran limpa atau hati).
“Waspadai jika ada penurunan berat badan tanpa sebab jelas hingga 10% berat badan,” tambah Dr. dr. Dody Ranuhardy, SpPD-KHOM, MPH, Sekjen PERHOMPEDIN dalam peluncuran obat baru kanker limfoma Hodgkin produksi PT Takeda Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan, jika menemukan tanda-tanda tersebut segera periksakan ke ahli penyakit dalam, jangan membuang waktu dengan melakukan pengobatan alternatif.
Inovasi dan teknologi baru
Kemoterapi adalah terapi lini I yang memberi hasil baik pada sebagian besar penderita limfoma hodgkin. Terapi radiasi mungkin dilakukan jika tumor berukuran kecil dan hanya berada di satu tempat; untuk stadium awal. Kadang kemoterapi dikombinasi dengan terapi radiasi.
Namun demikian sebanyak 20% pasien akan mengalami fase relaps (kambuh kembali) atau refrakter (tidak memberi respons) pada pengobatan awal.
“Kondisi pasien relaps atau refrakter biasanya lebih buruk dan sulit untuk disembuhkan,” jelas dr. Dody. “Namun dengan inovasi obat baru, harapan kesembuhan mereka meningkat.”
Teknologi baru dalam pengobatan limfoma hodgkin adalah pengobatan antibody drug conjugate (ADC) yang dikategorikan sebagai terapi target. Obat tersebut hanya akan menyasar pada antibodi spesifik sel tumor limfoma hodgkin, yakni CD30.
“Penelitian kami dari 265 pasien limfoma hodgkin dalam 10 tahun terakhir, 90%-nya memiliki antibodi CD30. Obat ini akan menempel dan menghancurkan sel dengan CD30,” terang dr. Dody.
Ini akan meminimalkan paparan pada sel sehat , sehingga efek samping seperti pada kemoterapi pun minimal. Data menunjukkan rata-rata harapan hidup pasien yang melakukan terapi target ADC menjadi 40,5 bulan, dengan angka kesembuhan total sekitar 34%. Ini adalah kemajuan besar pada kasus kanker yang tidak merespon pada pengobatan lini pertama (kemoterapi). (jie)