Ternyata masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap pandemi global ini sebagai konspirasi yang hanya menyerang kalangan tertentu. Tidak heran kasus positif harian sulit turun, bahkan sempat mencatatkan rekor pada Kamis (3/12/2020) dengan 8.369 kasus.
Dalam satu minggu terakhir tercatat ada lima provinsi (Papua, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dengan penambahan kasus baru tertinggi. Bandung pun kembali menjadi zona merah sehingga kembali menarik ‘rem’ PSBB proporsional. Situasi ini diklaim oleh pemerintah dampak dari libur panjang akhir Oktober hingga awal November lalu.
Tetapi pengamat berpendapat lain, banyak masyarakat yang tidak patuh menjalankan protokol kesehatan karena mempercayai teori konspirasi. Herzaky Mahendra Putra, Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia mengatakan masih banyak masyarakat yang belum memandang COVID-19 sebagai hal nyata. Pagebluk global ini masih dianggap sebagai konspirasi dan hanya menyerang kalangan tertentu saja.
“COVID-19 nyata, tapi masih ada masyarakat yang menganggap ini konspirasi dan hanya menyerang kalangan tertentu. Untuk itu, pemerintah perlu lakukan komunikasi efektif dan edukasi kepada publik,” ujar Herzaky dalam diskusi daring Forum Diskusi Salemba, Rabu (2/12).
Teori konspirasi yang paling santer adalah virus corona ini direkayasa dari lab. di Wuhan, China. Konspirasi lain menyebutkan bahwa Bill Gates terlibat dalam upaya penyebaran virus untuk memproduksi vaksin sebagai ladang bisnis.
Herzaky menambahkan, bahkan masih ada kepala daerah yang menganggap COVID-19 bukan sesuatu yang harus diwaspadai. Di beberapa daerah, masyarakat menggunakan masker pada saat ada otoritas berseragam saja, termasuk di perkantoran masih banyak yang tidak pakai masker.
Dalam kesempatan yang sama, Epidemiolog Universitas Indonesia Dr. dr. Tri Yunis Miko, MSc, menyatakan bahwa protokol kesehatan harus dilaksanakan pada semua aktivitas masyarakat di setiap sektor.
Protokol kesehatan bisa disesuaikan dengan tingkat risiko di setiap sektor, misalnya antara tempat wisata indoor dengan outdoor, di tempat kerja, aktivitas komunitas, restoran hingga sekolah, semua perlu ikut serta dalam penanggulangan COVID-19.
“Perlu pendekatan kolaboratif untuk mendisiplinkan masyarakat yang heterogen. Dapat berupa gabungan dari pendekatan edukatif, persuasif, promotif, ataupun diktatif. Hal ini disesuaikan dengan masing-masing karakteristik dari suatu kelompok masyarakat. Sulit mendisiplinkan masyarakat apabila tidak ada sanksi hukum yang adil dan menyeluruh,” tegas dr. Miko.
Literasi rendah gampang percaya konspirasi
Teori konspirasi ini juga santer terdengar di negara-negara maju. Para peneliti bahkan melakukan survei untuk menakar teori konspirasi ini, melibatkan responden dari Inggris, AS, Irlandia, Meksiko dan Spanyol. Studi ini dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science.
Dilansir dari laman lipi.go.id, Muhammad Retsa Rizaldi, mahasiswa magister pendidikan sosiologi Univ. Pendidikan Indonesia, menulis mudahnya seseorang mempercayai konspirasi didorong oleh kecemasan individu terhadap kondisi dunia, atau rasa tidak aman yang disebabkan oleh tanggapan negatif terhadap pemerintah.
“Kondisi pandemi yang datang secara cepat dan tiba-tiba membuat masyarakat ketakutan, sehingga teori konspirasi dianggap sebagai penawar dalam menjawab keresahan yang dirasakan. Diperburuk dengan rendahnya literasi sehingga teori konspirasi semakin mudah dipercayai,” tulisnya.
Riset Moreno Mancosu, dari the University of Turin, Italia, menunjukkan bila kepercayaan terhadap konspirasi menimbulkan sikap anti ilmu pengetahuan, merusak kepercayaan terhadap lembaga publik, serta mempengarhui keputusan kesehatan individu.
Dengan menggiring narasi untuk mengabaikan ilmu pengetahuan dan peran tenaga kesehatan, individu yang mempercayai konspirasi akan meremehkan ancaman COVID-19 dengan mengabaikan imbauan lembaga pemerintah dan ahli kesehatan untuk menerapkan protokol kesehatan. (jie)