Pemerintah berencana memulai vaksinasi COVID-19 pada Januari 2021, setelah vaksin Sinovac mendapatkan izin penggunaan darurat. Tetapi muncul banyak pertanyaan pada mereka yang pernah positif COVID-19 dan dinyatakan sembuh, masih perlukah vaksinasi?
Untuk menanggulangi pandemi yang belum terkendali – Indonesia Situation Report 38 yang diterbitkan WHO mencatat rata-rata kasus baru per hari dari 7-13 Desember adalah 6.179- pemerintah berharap banyak pada program vaksinasi.
Bahkan Presiden Joko Widodo, 16 Desember 2020 mengatakan ia akan menjadi orang pertama yang akan divaksinasi, untuk membuktikan kepada khalayak luas bila vaksin produksi Sinovac aman.
Pemerintah memrioritaskan vaksinasi gelombang pertama (gratis untuk semua warga negara usia 18-59 tahun) di Jawa dan Bali karena tingginya kasus di dua pulau ini.
Di satu sisi, mereka yang sudah sembuh dari COVID-19 diketahui memiliki antibodi terhadap virus SARS-CoV-2. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah vaksinasi COVID-19 masih perlu bagi mereka?
Ahli mengatakan seseorang yang pernah sembuh dari COVID-19 tetap memerlukan vaksinasi. Alasannya riset menunjukkan mereka yang pernah sembuh bisa mengalami reinfeksi COVID-19.
Dilansir dari Kompas, epidemiolog kandidat PhD dari Griffth Univeristy, Australia, Dicky Budiman mengatakan, "Jadi yang pernah terinfeksi pun itu perlu divaksinasi. Karena, pertama, data riset yang saat ini kita miliki membuktikan bahwa ada potensi reinfeksi."
Infeksi ulang oleh keluarga virus corona sudah tercatat lama
Pada Agustus lalu terkonfirmasi seorang pria berusia 33 tahun di Hong Kong mengalami infeksi ulang COVID-19. Demikian pula seorang pria 25 tahun di Amerika Serikat.
William A. Haseltine, profesor di Harvad Medical School menjelaskan kasus reinfeksi virus corona sebenarnya telah terdokumentasi sejak tahun 1970-an. Riset skala besar terbaru adalah tahun 2018 di Belanda dan Kenya pada virus corona NL63 (bukan virus corona penyebab COVID-19).
Bukti awal infeksi ulang berasal dari serangkaian percobaan yang dilakukan pada akhir 1970-an dan 1980-an. “Relawan sehat terpapar virus corona dan pulih. Ketika terpapar lagi setahun kemudian, siklus berulang untuk sebagian besar peserta (sebanyak dua pertiga). Beberapa di antaranya adalah virus corona yang sama yang kita lawan dari tahun ke tahun,” terang Prof. Haseltine, dikutip dari Scientific American.
Studi di Kenya -dilakukan di rumah sakit pedesaan dan perumahan di Kilifi County, Kenya- melacak sirkulasi beberapa virus corona di seluruh komunitas selama rentang enam tahun. Hampir 30 % dari mereka yang tertular satu varian virus pernah mengalami infeksi kedua, sementara sekitar 10 % tertular untuk ketiga kalinya.
“Beberapa terinfeksi kembali dalam waktu tiga bulan setelah diagnosis pertama mereka, dan yang mengejutkan dari infeksi ulang tersebut, viral load (jumlah virus) meningkat,” kata Prof. Haseltine.
Mengapa infeksi ulang terjadi begitu konsisten di seluruh keluarga virus corona, kita tidak tahu, imbuh Prof. Haseltine. Tetapi yang menjadi semakin jelas adalah bahwa antibodi virus corona selama dan setelah infeksi primer tampaknya memudar relatif cepat.
Kekebalan hanya 3-4 bulan
Para ahli sudah melihat bila kekebalan terhadap virus COVID-19 yang didapatkan setelah sembuh tergantung dari berat ringannya infeksi.
Pada pasien tanpa gejala (OTG) biasanya antibodi yang terbentuk sedikit, bahkan tidak terdeteksi. Itu sebabnya, Prof. Haseltine menjelaskan, OTG adalah yang paling rentan terhadap infeksi ulang.
Tetapi sebaliknya pada mereka dengan infeksi berat menghasilkan lebih banyak antibodi, yang bertahan untuk waktu lebih lama.
"Pasien yang terinfeksi membuktikan bahwa daya tahan ini yang timbul akibat reinfeksi tidak akan lama, sekitar 3 bulanan," ujar Dicky. "Karena atas dasar itulah otomatis orang tersebut masih membutuhkan vaksin.”
Dalam New England Journal of Medicine disebutkan di populasi orang Islandia, lebih dari 90% dari orang yang terinfeksi masih memiliki antibodi COVID-19 setelah 4 bulan pascadiagnosis. (jie)