Sindrom iritasi usus (irritable bowel syndrome / IBS) merupakan iritasi saluran cerna yang ditandai dengan nyeri perut, kembung, diare atau konstipasi berulang. Gangguan ini paling sering menyerang usus besar.
Gangguan biasanya dimulai dengan munculnya kembung, kemudian bisa meningkat menjadi nyeri kram perut dan mual. Atau dorongan mendadak untuk buang air besar.
Sindrom iritasi usus lebih sering dialami oleh perempuan. Pemicunya bisa akibat kurang tidur, stres, atau karena salah makan – bahkan bila Anda makan makanan sehat.
Prof. Dr. dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH, ahli gastroenterologi hepatologi di RSCM-FKUI menjelaskan IBS menyebabkan sakit perut, kram, dan buang air besar yang mendesak (diare). “Namun IBS masih diklasifikasi sebagai gangguan fungsional dan tidak menimbulkan peradangan,” tegasnya.
Penyebab
Hingga saat ini penyebab pasti iritasi usus ini belum diketahui, namun ada beberapa faktor yang berperan penting terhadap terjadinya sindrom iritasi usus besar ini.
Pertama, akibat kontraksi otot usus. Kontraksi di dinding usus yang lebih kuat dari biasanya akan menyebabkan penumpukan gas, kembung hingga diare. Sedangkan kontraksi yang lebih lemah membuat kita mengalami konstipasi karena makanan menjadi lebih sulit lewat.
Kedua, abnormalitas sistem saraf. Gangguan di sistem pencernaan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman di perut.
Ketiga, karena peradangan di usus. Beberapa orang dengan sindrom iritasi usus menunjukkan peningkatan sel radang di usus yang berhubungan dengan kejadian diare dan nyeri perut.
Teori keempat dan kelima disebabkan oleh infeksi berat (oleh bakteri atau virus), dan adanya perubahan flora normal di usus. Flora normal merupakan keseimbangan antara bakteri baik dan jahat. Bila bakteri jahat mendominasi usus maka akan muncul berbagai keluhan seperti kembung dan diare.
“Munculnya IBS biasanya disebabkan hipersensitifitas visceral, gangguan motor gastrointestinal (otot di dinding usus) atau faktor psikologis,” kata Prof. Murdani.
Aktivasi sel mast
Dalam riset terbaru tim peneliti dari Katholieke Universiteit Leuven di Belgia menemukan mekanisme biologis dibalik sindrom iritasi usus besar ini.
Riset telah menunjukkan infeksi usus akibat bekteri seperti E.coli dan Salmonella dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami IBS, dan pasien kerap merasakan gejala setelah keracunan makanan.
Atas dasar tersebut peneliti menginfeksi tikus dengan bakteri (Citrobacter rodentium) yang menyebabkan keracunan makanan, sekaligus memberi mereka protein yang ditemukan dalam telur (ovalbumin).
Setelah tikus sembuh dari infeksi, mereka hanya diberi makan ovalbumin saja untuk mengaktifkan sel imun usus, yang mana sel ini tidak bereaksi pada tikus kontrol yang sebelumnya diberi ovalbumin tanpa bakteri.
Ovalbumin tersebut akhirnya dianggap sebagai antigen (benda asing) oleh sistem imun tikus. Biasanya, sistem kekebalan akan ‘menutup mata’ terhadap potongan protein (antigen) yang kita cerna. Ini disebut proses toleransi oral.
Tetapi saat sistem kekebalan aktif sebagai respon terhadap infeksi, ia juga belajar untuk melihat makanan yang ada saat ini sebagai ancaman, kemudian memroduksi antibodi untuk mengingat antigen ini.
Saat antibodi berhadapan dengan antigen ini kembali (dalam hal ini ovalbumin) mereka bergabung dengan sel mast, memicu sel imun melepaskan histamin dan teradi proses peradangan.
Histamin diketahui membuat sel sangat sensitif, ini menjelaskan sakit perut bahkan ketika jaringan usus hanya diregangkan dalam batas normal selama proses mencerna makanan.
Pada tikus yang dibuat memiliki lebih sedikit sel mast, tidak mengalami respon sakit yang sama, mengonfirmasi keterlibatan sel ini.
Tim peneliti lantas mengujinya pada 12 penderita IBD dan 8 orang sehat, untuk melihat apakah saluran cerna mereka bereaksi seperti pada tikus. Mereka menyuntikkan makanan yang diketahui memicu reaksi (susu sapi dan susu kedelai) ke dinding usus pasien IBS. Ini menyebabkan respons imun lokal yang serupa, tetapi tidak pada relawan yang sehat.
Meskipun ini hanya penelitian kecil, uji klinis sebelumnya telah menunjukkan obat antihistamin dapat memperbaiki gejala sindrom iritasi usus besar, mendukung gagasan bahwa aktivasi sel mast adalah penyebab utamanya.
"Sel mast melepaskan lebih banyak senyawa dan mediator daripada hanya histamin," jelas Guy Boeckxstaens, salah satu peneliti melansir Science Alert. "Jadi jika Anda dapat memblokir aktivasi sel-sel ini, saya yakin Anda akan mendapatkan terapi yang jauh lebih efisien." (jie)