Menurut peneliti dari University of Hong Kong, seorang pria di Hong Kong menjadi orang pertama yang terinfeksi ulang (kedua kali) virus COVID-19.
Penemuan ini menunjukkan bahwa mereka yang telah sembuh dari COVID-19 mungkin hanya memiliki kekebalan jangka pendek dari infeksi ulang virus corona tersebut.
Tetapi para ahli mengatakan tidak perlu panik. Akiko Iwasaki, profesor imunobiologi di Yale University, dalam Twitter-nya mengatakan bila hasil riset tersebut tidak menunjukkan suat hal yang mengejutkan.
“Ini bukan alasan untuk khawatir. Ini adalah contoh tentang bagaimana kekebalan tubuh harus bekerja,” cuitnya.
Dalam laporan yang dimuat di jurnal Clinical Infectious Disease, dijelaskan seorang pria berusia 33 tahun di Hong Kong dilaporkan mengalami gejala ringan pada akhir Maret 2020, saat pertama kali didiagnosa dengan COVID-19.
Ia kemudian dirawat di rumah sakit pada 29 Maret 2020, tetapi gejalanya berangsur sembuh dan diperbolehkan pulang 14 April 2020.
Infeksi kedua terjadi sekitar 4 bulan kemudian, yakni setelah pria tersebut kembali ke Hong Kong dari Spanyol, via Inggris. Ia dinyatakan positif pada 15 Agustus 2020 lalu dan dirawat di rumah sakit, walau tanpa gejala.
Peneliti membandingkan genom sekuens virus di kedua infeksi, dan menemukan bahwa strain virus saat infeksi ulang sedikit berbeda dengan virus pertama. Mereka menegaskan bahwa kasus tersebut adalah infeksi ulang yang sebernarnya, bukan hasil positif karena infeksi pertama yang masih ada.
Brendan Wren, profesor mikrobiologi di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris menyebut kasus infeksi ulang ini ini sebagai ‘contoh langka’, dan mengatakan bukan hal yang aneh untuk menemukan strain virus yang berbeda saat pandemi berkembang.
Dilansir dari NBC News, ia mengatakan, “Kami berharap, seperti semua virus, mereka bermutasi dari waktu ke waktu.” Tetapi masih terlalu dini untuk mengetahui apa makna mutasi tersebut, seperti apakah perubahan berarti virus corona menjadi lebih ganas atau kurang ganas.
Ia menambahkan dengan masih bertambahnya kasus positif COVID-19 di seluruh dunia, kasus infeksi ulang jangan sampai menggagalkan upaya pengembangan vaksin COVID-19.
Hanya bertahan 3-6 bulan?
Penelitian awal tentang antibodi virus corona telah menemukan bahwa kadarnya berkurang setelah beberapa bulan. Ini menunjukkan bahwa kekebalan potensial terhadap virus COVID-19 mungkin tidak bertahan lama.
Dr. Anthony Fauci, kepala National Institute of Allergy and Infectious Diseases, di Amerika Serikat, sebelumnya menjelaskan bahwa kekebalan terhadap virus corona lain yang diketahui, termasuk yang menyebabkan flu biasa, biasanya hanya berlangsung selama 3 - 6 bulan.
"Mungkin sangat berbeda dengan virus corona baru ini," ujarnya dalam jurnal medis JAMA. "Mungkin menimbulkan respons yang cukup lama. Tetapi jika ia bertindak seperti virus corona biasa, kemungkinan durasi imunitasnya tidak akan terlalu lama.”
Sementara itu dr. Stanley Perlman, profesor mikrobiologi dan imunologi di University of Iowa, mengungkapkan hal tersebut mengembirakan bila infeksi ulang terjadi tanpa gejala, yang berarti setidaknya daya tahan pasien mampu melindunginya supaya tidak sampai sakit.
“Kami bisa mengatakan bahwa orang tersebut memiliki kekebalan yang cukup, sehingga ia tidak mengalami infeksi yang parah untuk kedua kalinya, begitu ringan sehingga ia tidak memiliki gejala sama sekali,” kata Perlman. (jie)