Henry Surendra, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)
Artikel ini untuk memperingati Hari Malaria Sedunia, 25 April.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan malaria menginfeksi 1 juta orang dan menyebabkan 1.800 kematian di Indonesia pada 2018. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan beban malaria terbesar kedua di Asia Tenggara, setelah India.
Meski telah berhasil menghapus malaria di 60% dari total kabupaten dan kota di Indonesia, pemerintah gagal mencapai target bebas malaria di Pulau Jawa pada 2015. Secara nasional, malaria ditargetkan habis paling lambat pada 2030.
Masalahnya, sampai sekarang masih ada penularan yang terjadi di Pulau Jawa, pulau terbanyak penduduknya di Indonesia.
Penelitian terbaru dari Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada dan London School of Hygiene and Tropical Medicine Inggris di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada 2017-2018 menunjukkan adanya penularan malaria yang lebih tinggi dari yang dideteksi sistem kesehatan dinas kesehatan setempat. Temuan lainnya, waktu terjadinya penularan tertinggi malaria adalah setelah mudik Lebaran atau libur panjang nasional.
Dalam riset yang saya pimpin ini, tim kami mengukur tingkat penularan malaria, mencari tahu faktor yang mendukung terjadinya penularan, dan mengidentifikasi upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan di wilayah ini.
Faktor penularan
Tim peneliti mengumpulkan sampel darah dan data dari 9.453 orang sejak Mei 2017 sampai April 2018 di Kulon Progo. Dari jumlah itu, hanya ada enam orang yang positif malaria Plasmodium vivax (malaria yang paling banyak terjadi) dan 0 kasus untuk malaria Plasmodium falciparum berdasarkan pemeriksaan darah menggunakan mikroskop standar yang dilakukan di puskesmas.
Namun, pemeriksaan kadar antibodi menggunakan mesin Luminex MAGPIX dan analisis statistik dari ribuan spesimen itu menunjukkan tingkat penularan yang lebih tinggi, yakni 20 per 1.000 orang per tahun untuk malaria P. vivax dan 5 per 1.000 orang per tahun untuk malaria P. falciparum. Apabila tidak ada peningkatan strategi pemantauan dan diagnosa, tingkat penularan diduga akan stabil pada angka tersebut.
Analisis data dari penelitian serupa di Afrika menunjukkan bahwa pemeriksaan antibodi malaria terbukti lebih sensitif dan akurat dalam mengukur tingkat penularan dibandingkan dengan pemeriksaan standar dengan mikroskop atau alat pemeriksaan cepat, terutama di wilayah dengan jumlah kasus malaria yang rendah seperti di Pulau Jawa.
Temuan kami jauh lebih besar dibanding temuan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta yang melaporkan 80 dari 15.067 orang yang diperiksa dinyatakan positif malaria pada 2017. Dari jumlah tersebut, 8 orang dinyatakan tertular malaria P. falciparum (jenis malaria paling berat dan sering terjadi komplikasi) di luar wilayah Kulon Progo, sedangkan 72 lainnya tertular malaria P. vivax di wilayah Kulon Progo.
Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo menyimpulkan penularan setempat terjadi karena ada 2 penderita malaria yang kambuh, kemudian menularkan ke tetangga satu desa, dan berlanjut ke warga di desa lainnya. Dinas Kesehatan menetapkan ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena tidak ada penularan setempat di lokasi tersebut sejak 2016.
Suatu daerah dapat menyatakan KLB jika terdapat penularan lokal di daerah yang sebelumnya sudah terbebas dari malaria, atau daerah yang mengalami lonjakan kasus dua kali lipat atau lebih dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Orang yang rentan tertular malaria
Malaria merupakan penyakit infeksi akibat gigitan nyamuk malaria Anopheles dan gejalanya muncul setelah 10-15 hari. Gejala terinfeksi ditandai oleh demam, sakit kepala, dan menggigil. Jika tidak ditangani dengan tepat, penyakit ini bisa menyebabkan anemia berat, gagal ginjal dan berakhir kematian.
Tempat perkembangbiakan malaria ada di sekitar kita, di air payau, parit-parit, dan laguna.
Penelitian kami menemukan bahwa risiko tertular malaria lima kali lebih tinggi pada kelompok usia dewasa 16-30 tahun dibandingkan anak di bawah 15 tahun, 30% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan 20% lebih tinggi pada orang-orang yang bekerja di hutan atau kebun.
Temuan ini mendukung temuan penelitian di Aceh Besar pada 2016, Kulon Progo pada 2014 dan di negara Asia lainnya seperti Kamboja pada 2012.
Ketiga riset itu menyatakan penularan malaria dipengaruhi oleh perbedaan perilaku berisiko (seperti aktivitas di luar rumah pada malam hari, dan pekerjaan seperti penebang kayu, petani nira kelapa/aren, petani buah, dan lain-lain) yang menyebabkan laki-laki dan kelompok umur dewasa lebih berisiko tertular malaria.
Waktu penularan
Penelitian kami di Kulon Progo menemukan bahwa risiko penularan paling tinggi terjadi pada Agustus-Oktober karena dalam periode ini banyak masyarakat melaporkan telah melakukan perjalanan ke luar daerah.
Kemungkinan penjelasannya adalah penularan mungkin terjadi ketika sebagian masyarakat setempat kembali ke kampung halaman, setelah beberapa hari bepergian untuk merayakan Lebaran ke wilayah lain yang memiliki risiko penularan malaria lebih tinggi. Kulon Progo menargetkan bebas malaria pada 2021.
Penelitian di Indonesia pada 2014, dan hasil review dari Chris Cotter dan timnya (2013) dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa migrasi dan kasus impor dari wilayah dengan penularan malaria yang lebih tinggi merupakan faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus dan KLB di wilayah dengan penularan malaria yang rendah seperti di Arab Saudi, Yunani, dan Cina.
Indikasi tidak efektifnya kelambu berinsektisida
Penelitian kami menemukan hanya 27% masyarakat yang tidur di bawah kelambu berinsektisida, dengan mayoritas pengguna kelambu adalah kelompok usia di bawah 16 tahun.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa orang yang tidur menggunakan kelambu berinsektisida justru lebih banyak (20% lebih tinggi) yang tertular malaria dibandingkan yang tidur tanpa kelambu. Hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa penggunaan kelambu berinsektisida sudah tidak lagi efektif untuk mencegah penularan di wilayah penelitian ini. Sebab sebenarnya penularan melalui gigitan nyamuk lebih banyak terjadi di luar rumah.
Oleh karena itu, alternatif lain seperti penggunaan repelan (bahan kimia yang dioleskan di tubuh) pada malam hari dan tempat tidur gantung berkelambu untuk orang yang bekerja dan menginap di hutan atau kebun dapat bermanfaat untuk mengurangi penularan pada masa yang akan datang.
Pantau setelah mudik Lebaran
Penelitian di Sabang Aceh menunjukkan bahwa sensitivitas alat diagnosis malaria (mikroskop dan alat pemeriksaan cepat) kurang mampu untuk mendeteksi malaria di wilayah dengan kasus yang sangat rendah. Hal ini berdampak pada keterlambatan penemuan kasus, sehingga penularan terus berlangsung di masyarakat dan seringkali menyebabkan terjadinya KLB.
Risiko terjadinya KLB menjadi lebih tinggi di wilayah dengan tingkat migrasi yang tinggi, dan wilayah dengan kasus malaria yang tanpa gejala dan tidak mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan.
Karena itu, kemampuan dan cakupan diagnosis dan pemantauan penyakit di Indonesia harus ditingkatkan untuk mempercepat tercapainya target Indonesia bebas malaria pada 2030.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperkuat pemantauan kasus malaria pada periode tertentu dengan tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi seperti menjelang mudik Lebaran atau libur nasional, dan saat musim panen buah (misal durian) yang seringkali bertepatan dengan musim hujan.
Masyarakat yang kembali dari perjalanan ke wilayah dengan risiko penularan malaria seharusnya melaporkan diri untuk dilakukan pemeriksaan malaria di puskesmas. Hal ini dapat mempercepat penemuan kasus impor sehingga pencegahan penularan dapat dilakukan sedini mungkin.
Henry Surendra, Postdoctoral fellow (Epidemiologist), Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
_______________________________________________
Ilustrasi: Background vector created by timmdesign - www.freepik.com