Bukan mitos, diabetes bisa menyebabkan kebutaan. Dua dari lima (43,1%) orang dewasa dengan Diabetes Mellitus tipe 2 mengalami retinopati diabetik (RD). Kondisi ini merupakan penyebab utama gangguan penglihatan di Indonesia. Tak hanya itu, sekitar 29% pasien dengan RD juga mengalami Diabetic Macular Edema (DME). Ini adalah komplikasi retina lanjutan dari RD yang menyebabkan pembengkakan pada makula, dan menjadi salah satu penyebab utama kebutaan akibat diabetes.
Ada tiga tantangan utama dalam upaya menurunkan beban retinopati diabetik. “Yaitu jumlah pasien diabetes yang sangat besar, cakupan skrining mata yang sangat rendah—kurang dari 5%, dan distribusi tenaga ahli mata yang tidak merata. Akibatnya, sebagian besar pasien datang dalam kondisi sudah lanjut atau terlambat,” ujar Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, M.Epi., Ph.D., Sp.M(K).
Hal tersebut diungkapkannya dalam penandatanganan Perjanjian Kerja Sama untuk percontohan penanganan komprehensif Retinopati Diabetik di Yogyakarta, bertepatan dengan Hari Diabetes Sedunia, 14 November lalu. Kerjasama yang dilakukan oleh Roche Indonesia dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) ini adalah wujud komitmen untuk memperkuat pelayanan RD di Indonesia, serta menurunkan beban akibatnya.

Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS di Yogyakarta, 14 November 2025 / Foto: Roche Indonesia
Diabetes Mellitus dan Retinopati Diabetik
Menurut SKI, prevalensi diabetes di Indonesia hamipr 30%. “Artinya, hampir 65 juta masyarakat Indonesia terindikasi mengidap diabetes, dan saat ini kita baru bisa mendeteksi sekitar 10 juta,” ujar Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid. Program CKG sejak awal 2024 hingga November 2025 bahkan menemukan 5 hingga 7,5 juta kasus baru Diabetes.
Peta Jalan Upaya Kesehatan Penglihatan Indonesia Tahun 2025 – 2030 menetapkan beberapa target kunci. Antara lain skrining retina pada setidaknya 80% individu dengan diabetes, serta pemberian pengobatan yang tepat kepada minimal 80% individu dengan RD. Deteksi dini dan tata laksana yang tepat adalah krusial, karena dapat mencegah hingga 95% kasus kehilangan penglihatan akibat RD.
Pemanfaatan teknologi kesehatan digital dan tele-oftalmologi menjadi strategi penting untuk meningkatkan deteksi dini kasus RD maupun DME. “Kami ingin memastikan bahwa skrining RD tidak hanya bergantung pada ketersediaan dokter spesialis, tetapi bisa dilakukan secara masif di layanan primer, dengan dukungan teknologi yang tepat dan alur rujukan yang jelas,” ujar dr. Nadia.
Ia melanjutkan, FK-KMK UGM dengan dukungan dari Roche Indonesia dapat menghadirkan pendekatan baru. “Kami berharap bahwa metode skrining RD berbasis digital tele-oftalmologi dengan pemanfaatan AI ini dapat menjadi bukti ilmiah yang kedepannya dapat kita terjemahkan menjadi kebijakan nasional.”.
Kolaborasi Lima Pilar untuk Menurunkan Beban akibat RD
Dijelaskan oleh Prof. Bayu, kemitraan antara Roche Indonesia dengan FK-KMK UGM akan fokus pada pengembangan dan implementasi model layanan skrining RD yang terintegrasi, serta tatalaksana RD yang komprehensif sesuai dengan standar medis terkini. “Tujuan utama kami adalah membangun sistem yang berkelanjutan. Proyek ini akan mencakup beberapa pilar,” paparnya.
Berikut ini lima pilar yang disebutkan oleh Prof. Bayu.
Pilar pertama
Penguatan sistem koordinasi lintas sektor dan kepemimpinan dari pemerintah pusat ke daerah untuk mendukung pencapaian target.
Pilar kedua
Peningkatan akses kesehatan mata yang bermutu, memenuhi standar, sesuai kebutuhan pasien dan berorientasi pada target.
Pilar ketiga
Penguatan tata kelola sumber daya manusia untuk mendukung peningkatan dan pemerataan akses kesehatan mata yang bermutu.
Pilar keempat
Optimalisasi cakupan dan pembiayaan untuk upaya kesehatan penglihatan yang berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Pilar kelima
Pengembangan sistem informasi terintegrasi dan pemanfaatan data, hasil riset, dan teknologi kesehatan dalam pencapaian target upaya kesehatan penglihatan.
“Melalui model ini, kami menargetkan peningkatan cakupan skrining secara signifikan dan memastikan pasien yang membutuhkan tatalaksana dapat segera mengaksesnya sebelum terjadi kebutaan permanen,” tutur Prof. Bayu. Aspek lain yang juga ia ditekankan yaitu pentingnya memastikan keberlanjutan dari program percontohan tersebut.
Salah satu hasil penting yang diharapkan dari kerjasama tersebut adalah tersusunnya bukti ilmiah yang menjadi acuan penyusunan kebijakan serta alokasi sumber daya untuk perluasan dan adopsi program dalam skala lebih luas dan nasional. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by freepik





