Jed Magen, Michigan State University
Bayangkan seorang perempuan berusia 65 tahun. Ia sering menemui dokternya karena bermacam-macam rasa sakit dan nyeri. Mungkin pada satu kunjungan ia mengeluh sakit punggung, sakit kepala pada kunjungan lain, dan merasa lemah pada kunjungan berikutnya. Setiap pertemuan, dokternya memeriksa dan menjalankan berbagai tes sebagaimana mestinya, tanpa menemukan apa pun yang bisa menjelaskan gejala-gejala tersebut. Setiap kali meninggalkan ruang praktik dokter, perempuan tua itu frustrasi karena “tidak ada yang bisa dilakukan” untuk mengatasi masalahnya.
Namun, jika kita lihat dengan lebih cermat, kita akan menemukan bahwa pasien ini kehilangan suaminya lima tahun lalu dan hidup sendirian sejak saat itu. Ketiga anaknya tinggal di negara bagian lain. Walau ia sangat mengasihi cucu-cucunya, ia bertemu mereka setahun sekali. Ia punya beberapa teman yang cuma sesekali ditemuinya. Kalau ditanya, barangkali dia akan mengatakan kepada Anda bahwa, ya, dia kesepian.
Inilah gambaran lazim di sebuah ruang praktik dokter keluarga. Gejala-gejala yang sulit dijelaskan sebabnya boleh jadi karena isolasi sosial dan kejemuan. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang merasa kesepian dirundung lebih banyak masalah kesehatan, merasa buruk dan mungkin mati lebih cepat.
Dalam ilmu psikiatri, spesialisasi saya, diketahui bahwa semua jenis perasaan bisa mempengaruhi kesehatan fisik kita. Pihak berwenang tampaknya mulai menanggapinya dengan serius. Inggris saat ini bahkan mempunyai menteri urusan kesepian. Dan ini untuk alasan yang bagus.
Efek negatif
Pada tahun 2015, para peneliti dari Universitas Brigham Young menelaah banyak studi tentang kesepian dan isolasi. Dari ratusan ribu orang mereka mendapati bahwa isolasi sosial menyebabkan 50 persen peningkatan kematian prematur.
Kesepian dan isolasi sosial juga terkait dengan meningkatnya tekanan darah, kadar kolesterol tinggi, depresi dan, jika itu semua belum cukup buruk, penurunan kemampuan kognitif dan penyakit Alzheimer.
Manusia berevolusi untuk berdekatan satu sama lain. Dahulu kala, kita berburu dalam kelompok-kelompok kecil di mana kohesi sosial bisa membantu melindungi diri dari predator. Sendirian tanpa dukungan di alam bebas sungguh berbahaya—dan menimbulkan rasa tertekan. Anda harus terus-menerus waspada terhadap bahaya, siap siaga dalam mode “berkelahi atau lari ” setiap saat.
Dalam jangka pendek, stres bisa menyehatkan. Tetapi dalam jangka panjang, stres yang tidak terkendali menjadi masalah. Terdapat bukti kuat bahwa stres kronis meningkatkan kadar hormon yang disebut kortisol dalam otak. Kortisol bisa mengurangi respons sistem kekebalan terhadap infeksi. Kortisol bahkan mungkin membuat neuron dalam otak menjadi kurang aktif, atau malah menyebabkan kematian sel. Kortisol turut menyebabkan radang, yang terkait dengan penyakit kardiovaskular, stroke dan hipertensi dan mungkin merupakan penyebab depresi.
Persis seperti pada zaman dahulu di alam bebas, seseorang yang kesepian untuk jangka waktu yang lama bisa mengalami respons-respons kortisol tersebut. Orang yang kesepian lebih banyak stresnya.
Hormon lain yang disebut oksitosin tampaknya memainkan peran dalam isolasi sosial. Dalam media populer, oksitosin sering disebut sebagai “hormon cinta.” Berlebihan saja itu, tetapi oksitosin memang terlibat dalam hubungan dan ikatan-ikatan pasangan. Misalnya, sesudah kelahiran, kadar oksitosin yang tinggi terkait dengan ikatan ibu-bayi yang lebih baik.
Oksitosin tampaknya juga terkait dengan pengurangan stres. Misalnya, ia berkaitan dengan penurunan kadar norepinefrin, hormon “berkelahi atau lari ”, di samping menurunkan tekanan darah dan detak jantung. Oksitosin tampaknya juga mengurangi aktivitas dalam amigdala, sebuah bagian otak yang aktif setiap ada potensi ancaman.
Agar tidak terlalu kesepian
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi semua itu? Tidak ada pengobatan riil untuk menyembuhkan kesepian, kecuali jika orang yang bersangkutan juga mengalami depresi dan kadar kecemasan yang tinggi.
Masalah kesepian tampaknya lebih banyak dijumpai pada orang dewasa lanjut usia. Yayasan AARP di Amerika Serikat yang bekerja melayani penduduk usia lanjut mendapati bahwa sekitar 17 persen orang lanjut usia Amerika kesepian atau terisolasi.
Reporter CNN dan dokter Sanjay Gupta menyarankan agar masyarakat mulai memandang kesepian sebagai penyakit kronis juga. Jika sudah demikian, maka para pasien membutuhkan strategi jangka panjang untuk menangani masalah ini.
Tidak mengherankan jika perawatan yang saat ini direkomendasikan berkisar pada pembentukan hubungan sosial. Untuk orang dewasa lanjut usia, bergabung dengan pusat perhimpunan orang lanjut usia adalah cara yang menyenangkan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas dan bertemu orang lain. Bagaimana dengan menjadi relawan? Program relawan senior selalu membutuhkan orang dewasa lanjut usia untuk mengantarkan makanan, mengurus surat-menyurat, dan bermacam-macam aktivitas lainnya. Sangat mengejutkan bagaimana hal-hal kecil itu bisa banyak membantu.
Telepon sekali sehari dari anak yang sudah dewasa adalah kesempatan untuk berbagi hal-hal yang terjadi hari itu atau tentang para cucu. Lebih bagus lagi, konferensi video melalui komputer mudah dilakukan dan murah. Anda bisa benar-benar berbicara dan bertemu anak-anak atau cucu-cucu Anda yang mungkin berada di sisi lain negeri. Berbagai studi di fasilitas-fasilitas perawatan jangka panjang menunjukkan bahwa hewan peliharaan juga bisa mengurangi kesepian.
Karena peneliti harus mengikuti orang selama bertahun-tahun untuk memastikan apakah intervesi ini atau intervensi-intervensi lain benar-benar menetralkan efek kesepian, tak banyak penelitian jenis ini yang dilakukan sejauh ini. Kendati demikian, masuk akal untuk menduga bahwa intervensi psikologis cukup ampuh, mengingat orang dewasa yang sehat memiliki kemampuan mengatasi masalah semacam ini.
Dari sebuah perspektif medis, bagi orang-orang yang tampaknya sangat kesepian dokter yang bijak akan menjadwalkan pertemuan khusus hanya untuk mengobrol. Pada hemat saya, ini bisa mencegah tes yang tidak perlu dan perawatan yang mahal.
Akhirnya, sungguh pun Anda memiliki kontak sosial berlimpah, mungkin tetangga Anda tidak. Ucapkan salam kepadanya ketika dia lewat sendirian.
Jed Magen, Associate Professor of Psychiatry, Michigan State University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
_________________________________
Ilustrasi: Pixabay.com