Di tengah pandemi virus corona, Indonesia masih harus berhadapan dengan demam berdarah dengue (DBD) yang juga mematikan. Penelitian terbaru menyatakan bila kandungan pestisida yang biasa dipakai dalam pengasapan (fogging) meningkatkan risiko penyakit jantung.
Kementerian Kesehatan mencatat dari Januari hingga awal Maret 2020 kasus DBD menyebabkan 104 kematian di seluruh Indonesia. Jumlah kasus DBD di Indonesia sudah mencapai 17.820 di periode yang sama. Laporan kasus masuk dari 28 provinsi, dengan 370 kabupaten/kota yang terjangkit. Jumlah kasus DBD pun diperkirakan akan terus meningkat.
Fogging atau pengasapan kerap dilakukan sebagai langkah antisipasi penyebaran nyamuk Aedes Aegypti, sebagai pembawa virus dengue. Salah satu senyawa kimia yang digunakan adalah golongan piretroid sintetis, seperti cynoff 25 ULV, seruni 100 EC, ICON 25EC atau SOLFAC 50 EC.
Piretroid merupakan insektisida yang biasa dipakai untuk membasi kutu, nyamuk dan hama lainnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa paparan piretoid dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskular dan kematian dini.
Para peneliti mengukur tingkat produk pemecahan piretroid dalam sampel urin dari 2.116 orang dewasa yang merupakan bagian dari studi kesehatan nasional skala besar. Sampel diperoleh antara tahun 1999 hingga 2002, ketika partisipan rata-rata berusia 43 tahun.
Setelah masa pengamatan rata-rata 14,4 tahun, subyek dengan paparan piretroid tertinggi tiga kali lebih mungkin meninggal akibat penyakit jantung, dibandingkan mereka yang memiliki paparan bahan kimia paling rendah. Studi ini dipublikasikan secara online 30 Desember 2019, oleh JAMA Internal Medicine.
Walau hasilnya tidak membuktikan bahwa piretroid menyebabkan penyakit jantung, temuan itu dianggap pantas dieksplorasi lebih jauh.
Pengaruhnya pada fertilitas dan janin
Pada riset terdahulu yang dimuat dalam International Journal of Hygiene and Environmental Health (2015) menyebutkan pemakaian piretroid –walau dinyatakan aman oleh WHO) – berpotensi menyebabkan gangguan fertilitas dan janin.
Anne-MarieSaillenfait, salah satu peneliti menyatakan, metabolit utama piretroid sering terdeteksi dalam sampel urin dalam populasi umum, mengkonfirmasikan paparan luas anak-anak dan orang dewasa terhadap satu atau lebih piretroid.
Paparan non-okupasional terhadap piretroid sebagian besar terjadi melalui konsumsi residu dalam makanan, atau kontak kulit dengan debu rumah yang mengandung partikel / menempel di permukaan setelah penggunaan domestik.
Paparan akut piretroid tercatat berisiko menyebabkan parastesia (sensasi kesemutan sementara), iritasi pernafasan, mata dan kulit. Sementara efek kronisnya (jangka panjang) pada konsentrasi rendah dan terbatas masih kontroversial.
Beberapa studi epidemiologis baru-baru ini telah mengangkat kekhawatiran tentang dampak buruk potensial pada kualitas sperma dan DNA sperma, hormon reproduksi, dan janin. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi risiko yang mungkin terkait dengan paparan lingkungan jangka panjang terhadap piretroid. (jie)