Ada begitu banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk transplantasi ginjal. Mendapatkan donor bukan hal mudah. Orang yang bersedia mendonorkan ginjal belum tentu cocok, dan sebaliknya; mereka yang golongan darahnya cocok, belum tentu mau atau punya keberanian untuk menjadi donor. Tranplantasi melibatkan tim dokter yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu, serta tim medikolegal untuk advokasi calon donor.
Di Indonesia, transplantasi masih mengandalkan donor dari keluarga. Baik related (orangtua atau saudara kandung), maupun unrelated (suami/istri, paman, tante). Calon donor harus menjalani serangkaian pemeriksaan: tes darah, tes kesehatan jantung, rontgent paru, USG hingga CT scan. Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa calon donor benar-benar sehat sehingga setelah ia menyumbangkan ginjalnya, tidak menjadi sakit. Juga diperiksa status hepatitis (A, B, C) dan virus lainnya.
Untuk kecocokan dengan resipien (penerima), diperiksa golongan darah dan pemeriksaan crossmatch. Idealnya, golongan darah resipien dan donor sama. “Namun meskipun sama, ada factor-faktor lain yang berpengaruh sehingga ginjal donor tidak bisa diterima dengan baik. Ini dinamakan crossmatch,” terang dr. Dharmeizar, Sp.PD-KGH.
Ini untuk melihat bagaimana antibodi resipien bereaksi dengan antibodi calon donor. Bila terjadi reaksi, maka kemungkinan akan terjadi penolakan terhadap ginjal. “Bila ketidakcocokan >20% sebaiknya transplantasi tidak dikerjakan,” tambahnya.
Calon donor diwawancara oleh tim medikolegal, untuk memastikan bahwa ia benar-benar ikhlas mendonorkan sebelah ginjalnya, tanpa paksaan maupun indikasi jual-beli organ. Terlebih bila calon donor bukan dari keluarga. “Prosedurnya begitu ketat,” tegas Wakil Ketua Komite Etik dan Hukum RSCM, dr. Tjetjep DS, SpF. Tidak ada undang-undang yang melarang seseorang menjadi donor. “Yang dilarang adalah donor yang dikomersilkan,” imbuhnya.
Seluruh pemeriksaan membutuhkan waktu 1-2 bulan. Biaya pemeriksaan pun tidak sedikit. Biaya transplantasi ginjal sudah ditanggung oleh BPJS, tapi hanya mencakup operasi dan pemeriksaan untuk resipien. Hingga saat ini, biaya pemeriksaan donor masih ditanggung oleh resipien atau keluarganya. Sedang diusulkan agar biaya pemeriksaan donor juga ditanggung oleh BPJS.
Resipien juga perlu menjalani pemeriksaan; ada kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi (tidak bisa) untuk dilaksanakannya transplantasi. Misalnya ada penyakit jantung dan pembuluh darah berat hingga tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik, perdarahan, kanker, atau gangguan jiwa berat. “Pasien dengan gangguan jiwa berat dikhawatirkan tidak bisa minum obat dengan teratur,” dr. Dharmeizar menjelaskan. Padahal, obat imunosupresan (penekan sistem imun) perlu diminum seumur hidup untuk mencegah reaksi penolakan. Pasien dengan diabetes dan hipertensi tidak terkontrol juga perlu dievaluasi lebih lanjut.
Ada persiapan pra operasi. Calon donor perlu masuk RS 3 hari sebelum operasi. Sedangkan resipien, H-7 diharapkan sudah masuk RS. Semua ini untuk mempersiapkan calon donor dan resipien sebaik mungkin. Dialisa yang biasanya dilakukan 2x seminggu oleh resipien, menjelang operasi jadi 3x seminggu.
Pasca operasi, baik donor maupun resipien masih perlu menginap beberapa hari di RS, untuk diobservasi. Bisa saja terjadi komplikasi pasca operasi, misalnya perdarahan. Untuk resipien biasanya lebih lama dan dipantau lebih ketat. Pasca operasi, ginjal bisa langsung berfungsi. Resipien yang awalnya tidak lagi berkemih (kencing) atau hanya mengeluarkan 1-2 tetes urin, setelah operasi bisa berbahagia melihat urin sudah kembali mengalir. Bila fungsi ginjal sudah optimal, tidak perlu lagi menjalani dialisis.
Kontrol rutin perlu dilakukan. Donor cukup control satu kali dalam setahun, untuk memonitor bahwa kondisi ginjalnya tetap baik. Resipien perlu lebih sering. Dalam bulan pertama setelah operasi, kontrol dua kali seminggu. Pada bulan kedua, dua minggu sekali. Bulan ketiga, sekali dalam sebulan, dan makin lama makin jarang. Dosis obat imunosupresan pun demikian. “Dosis yang awalnya tinggi, pelan-pelan diturunkan sampai dosis terkecil yang bisa diterimanya,” terang dr. Dhaemeizar. Ini berbeda pada tiap orang. Dan, obat tetap harus diminum seumur hidup.
Tentu, ada pula kasus transplantasi yang gagal, meski kemungkinannya sangat kecil. Di balik cerita bahagia Ivan Klasnic, ada cerita kegagalan. Awalnya, ia menerima donor ginjal dari ibunya. Serangkaian tes termasuk crossmatch dijalani, dan hasilnya bagus. Namun lima hari kemudian di ulang tahunnya yang ke-27, diketahui bahwa ternyata tubuhnya menolak ginjal donor dari sang ibu. Akhirnya 7 minggu kemudian ia menjalani operasi transplantasi lagi, kali ini dengan ginjal dari ayahnya. Syukurlah, kali ini tidak ada penolakan dari tubuhnya.
Bagaimanapun, selalu ada risiko kegagalan dalam tiap tindakan. Namun jangan jadikan ini alasan mengurungkan keinginan untuk menjalani transplantasi. (nid)
___________________________________________
Ilustrasi: Woman photo created by pressfoto - www.freepik.com