Ada yang tidak berubah selama pandemi ini: kanker. Kasus baru kanker tetap bermunculan seperti biasa, kematian akibat kanker pun tetap terjadi. Situasinya justru makin tidak menguntungkan bagi pasien kanker. “Risiko kematian pada pasien COVID-19 dengan kanker lebih tinggi, yakni 39%, dibandingkan 8% pada mereka yang tidak punya kanker,” ungkap dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG(K)Onk dari RS Kanker Dharmais. Namun bukan berarti pengobatan harus ditunda. Pasien kanker tetap perlu mendapat pengobatan dan perawatan sebagaimana mestinya.
COVID-19 memang jadi ancaman serius bagi orang dengan sistem imun yang lebih rendah, misalnya pasien kanker. Penelitian yang dipublikasi di The Lancet menemukan, pasien kanker memiliki gejala COVID-19 yang lebih berat, dan perburukan gejalanya pun lebih cepat. “Yang menarik, tidak ditemukan peningkatan kematian pada pasien kanker dengan perawatan aktif, dibandingkan dengan pasien dengan perawatan non aktif. Jadi pasien tidak seharusnya menunda pengobatan,” tegas Prof Chng Wee Joo, Direktur National University Cancer Institute Singapore, dalam diskusi daring untuk kampanye New Normal, Same Cancer bersama AstraZeneca, Kamis (10/12/2020).
COVID-19 tidak hanya mengancam pasien kanker secara langsung, tapi juga secara tidak langsung dari pelayanan medis. “Awal April ketika diberlakukan PSBB total, kunjungan pasien ke RS Dharmais menurun drastis,” ujar dr. Yusuf. Angka radioterapi pun turun 13%, dan one day care turun 9%.
Timbul masalah baru setelah PSBB dilonggarkan. “Pasien yang datang overcrowd sehingga sulit melaksanakan social distancing,” imbuhnya. Belum lagi infrastruktur dan fasilitas RS tidak memadai untuk mengakomodir lonjakan pasien. Termasuk di antaranya skrining kanker, dan unit deteksi dini yang tutup selama PSBB, hingga menyebabkan penurunan 60% pasien dibanding tahun lalu (2019).
Pasien kanker tetap perlu mendapat pengobatan, apa saja yang perlu diperhatikan?
Kanker adalah penyakit yang progresif. Stadium kanker bisa menjadi lebih lanjut dalam waktu relatif singkat. Untuk itu pasien kanker tetap perlu mendapat pengobatan yang dibutuhkannya. Menunda pengobatan karena takut ke RS bukanlah pilihan bijak.
Bagaimanapun juga, tetap ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan. “Pasien kanker yang hendak mendapat terapi harus dipastikan dulu negatif COVID-19,” tegas dr. Yusuf. Bila pasien terkena COVID-19, apa boleh buat, pengobatan terpaksa ditunda dulu hingga sembuh, “Karena pengobatan akan makin memperburuk kondisi pasien.” Untuk itu pasien wajib menjalani tes usap (swab) PCR sebelum menjalai pengobatan.
Selama pengobatan, pasien maupun keluarga pasien tidak boleh kontak dengan banyak orang. Ini untuk meminimalisir kemungkinan terkena COVID-19, mengingat imunitas pasien kanker sangat rendah sehingga mudah sekali terinfeksi. “Keluarga pasien juga diedukasi agar tidak banyak keluar rumah. Sering kali pasien tidak bepergian, tapi anggota kelurga yang sehat bepergian, sehingga terjadilah transmisi,” sesal dr. Yusuf.
Protokol saat di RS pun sangat ketat. Pasien wajib mengenakan masker selama berada di RS. “Pasien juga tidak diperbolehkan saling mengunjungi, yang biasa dilakukan sebelum pandemi dulu,” ujar dr. Yusuf. Tak kalah penting, semua pasien yang masuk ke RS harus menjalani skrining COVID-19, baik dengan tes cepat maupun tes usap. Memang ini membuat birokrasi yang dihadapi pasien jadi lebih berat, karena harus selalu skrining tiap kali ke RS. Namun ini diperlukan demi mencegah penularan di RS. “Dan tidak boleh ada orang yang mengunjungi RS tanpa kepentingan,” tandas dr. Yusuf.
Seperti halnya kasus baru dan kematian kanker yang tidak berubah selama pandemi, pengobatan untuk pasien kanker pun seharusnya tidak berubah. Pasien kanker tetap perlu mendapa pengobatan, dan keluarga harus mendukung penuh dengan membatasi bepergian, agar pengobatan pasien berjalan optimal hingga selesai. (nid)