Bukan rahasia lagi, mereka dengan kekebalan tubuh rendah seperti pasien kanker rentan mengalami COVID berat. “Paparan COVID-19 akan jadi masalah besar terutama pada pasien kanker darah seperti leukemia, limfoma, dan myeloma,” ujar dr. Jeffry Beta Tenggara, Sp.PD-KHOM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hemato-Onkologi Medik dari MRCCC.
Secara umum, pasien kanker maupun pasien penyakit kronis lainnya seperti diabetes, memiliki kekeblan atau imunitas tubuh yang tidak sebaik orang lain. mereka merupakan kelompok rentan, yang lebih berisiko terkena COVID-19 maupun COVID berat.
Ada beberapa alasan mengapa pasien kanker rentan mengalami COVID berat. Pertama dari kankernya sendiri, terutama tiga kanker darah yang telah disebutkan. “Pada pasien leukemia, sel darah putih sangat banyak tapi bukan ‘tentara’ yang baik, malah mengacau. Saat kena COVID-19, tentaranya tidak bisa melawan,” terang dr. Jeffry, dalam diskusi bertajuk #LindungiYangRentandariCovid: Apakah Pasien Kanker Bisa Terlindungi secara Optimal dari COVID-19? di Jakarta, Kamis (15/12/2022).
Kedua, dari pengobatannya. Kemoterapi akan menurunkan sel darah putih (leukosit), Hb, dan trombosit. “Saat leukosit turun, kekebalan tubuh pun turun karena ibaratnya, leukosit adalah tentara yang melindungi tubuh,” tutur dr. Jeffry.
Pada pasien leukemia, efek kemoterapi lebih pelik lagi, karena kemoterapi ditujukan untuk ‘membabat’ habis leukosit penyebab leukemia. “Pada saat inilah pasien benar-benar rentan karena tidak punya perlindungan dari sel darah putih,” tambah dr. Jeffry. Itu sebabnya kemoterapi diberikan di ruangan khusus (ruang isolasi), untuk meminimalkan segala risiko infeksi.
Pengobatan dengan radioterapi intensif juga menurunkan imunitas pasien kanker. “Misalnya radioterapi di daerah tulang belakangan atau panggul, karena akan menurunkan sel-sel darah,” ujar dr. Jeffry.
Peliknya bila Pasien Kanker Terkena COVID-19
Permasalahan COVID-19 menjadi lebih pelik pada pasien kanker yang tengah menjalani pengobatan, sekalipun gejala COVID-19 yang dialaminya ringan. Pasalnya, pengobatan harus dihentikan sementara bila mereka kena COVID-19. Sementara itu, pengobatan kanker berpacu dengan waktu.
“Sesuai protokol, pengobatan harus dihentikan dulu sampai hasil tes COVID negatif, baru dilanjutkan. Artinya, ada jeda. Selama jeda ini, kanker bisa tumbuh lagi dan menjadi lebih agresif dibanding sebelumnya,” tutur dr. Jeffry. Selama hasil tes positif, pengobatan dihentikan dahulu, sekalipun gejala COVID-19 sudah tidak ada lagi.
Namun demikian, protokol ini tidak lagi seketat dulu ketika COVID-19 masih menjadi momok. “Kita lihat kasus per kasus. Ada pasien yang menjalani terapi target, dan tidak ada efek samping yang terlau berat. Pada kasus seperti ini kita masih berani lanjutkan pengobatan, tapi di ruangan khusus,” terang dr. Jeffry. Namun untuk pasien kemo, pengobatan harus ditunda dulu.
Seorang penyintas kanker payudara, Estriningsih, berbagi cerita. Estri didiagnosis memiliki kanker payudara stadium 3A pada November 2020. Usai menjalani mastektomi, ia mulai menjalani kemoterapi sebanyak 6x, dilanjutkan dengan terapi target trastuzumab untuk kanker payudara HER2+ sebanyak 18x. Namun setelah terapi target kesembilan, ia terkena COVID-19.
Saat itu Juli 2021, ketika gelombang Delta sedang tinggi-tingginya. Beruntung, Estri hanya mengalami gejala sedang. “Gejala yang saya alami mirip dengan efek kemo, seperti pusing, demam, batuk, pilek, dan linu tulang,” ujarnya. Ketika tes antigen sehari sebelum terapi target kesepuluh, barulah diketahui ternyata dirinya positif COVID-19. “Akhirnya pengobatan ditunda tiga minggu,” imbuhnya.
Perlindungan Ekstra
Pasien kanker sangat memerlukan vaksinasi untuk melindunginya dari COVID-19. Respons pasien kanker terhadap vaksin memang tidak sebaik orang pada umumnya. “Tapi tetap lebih baik daripada tidak divaksin. Sekalipun mereka sedang dalam pengobatan aktif atau maintenance, vaksin tetap bermanfaat untuk perlindungan,” tegas dr. Jeffry.
Ia menjelaskan, vaksinasi merupakan imunisasi aktif, yang akan merangsang pembentukan antibodi oleh sistem imun untuk melawan penyakit tertentu. Ibaratnya, bala tentara di dalam tubuh kita diperkenalkan dengan virus tertentu, misalnya SARS-CoV-2, untuk membentuk sistem perlawanan. Maka ketika virus penyebab COVID-19 tersebut masuk ke tubuh, bala tentara akan mengenalinya sebagai musuh, dan sudah siap untuk membasminya.
“Bila tentara tadi tidak cukup kuat, bisa diberikan imunisasi pasif berupa antibodi monoklonal,” ucap dr. Jeffry. Berbeda dengan vaksinasi yang merangsang respons imun, imunisasi pasif ibaratnya bantuan tentara dari luar. “Jadi tidak memancing imunitas untuk melawan infeksi, melainkan menyuplai bala tentara baru yang sudah dirancang untuk melawan infeksi virus penyebab COVID-19,” paparnya.
Imunisasi pasif bisa diberikan kapan saja, bisa pula berbarengan dengan vaksinasi COVID-19. “Diberikan tiap enam bulan sekali dan bisa diulang terus, sampai pasien kanker tidak lagi termasuk kelompok rentan,” jelas dr. Jeffry.
Pasien kanker rentan mengalami COVID berat. Untuk itu diperlukan perlindungan ekstra berupa kombinasi vaksinasi dan imunisasi pasif dengan antibodi monoklonal. “Memang kita tidak bisa mencegah aparan COVID-19 sampai 100%. Target utamanya adalah agar tidak terjadi COVID berat,” pungkas dr. Jeffry. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by Freepik