obat untuk mengurangi gejala long covid
obat untuk mengurangi gejala long covid

Obat Warung Ini Bisa Dipakai Untuk Rawat Long COVID, Riset Teranyar Menyatakan

Dua pasien long COVID di California hampir pulih total dari gejala yang mereka rasakan dengan minum antihistamin yang biasa dijual bebas, di Indonesia disebut juga obat warung, menurut penelitian terbaru.

Sebenarnya hingga saat ini belum ada obat khusus yang dikembangkan untuk mengatasi gejala jangka panjang alias long COVID. Tetapi pemakaian antihistamin (untuk mengurangi gejala alergi) tampak menjanjikan, karena terbukti aman dikonsumsi setiap hari, selama tidak mengganggu obat lain.

“Sebagian besar pasien memberitahu kami bahwa providers (penyedia) tidak merekomendasikan obat apapun yang bisa membantu,” kata Melissa Pinto, perawat dari University of California Irvine (UCI), melansir Science Alert.

“Jika pasien ingin mencoba antihistamin yang dijual bebas, saya mendorong mereka untuk melakukannya di bawah pengawasan medis.”

Kasus pertama yang dirinci oleh para peneliti di UCI melibatkan seorang petugas kesehatan berusia 40-an, yang menjadi salah satu pasien COVID-19 pertama di AS. Ia terinfeksi sekitar Januari 2020. Tiga hari setelah sakit, ia merasakan sakit kepala dan kelelahan parah.

Beberapa hari kemudian, mengalami ruam, nyeri dada, demam dan berkeringat di malam hari. Infeksi terparah berlangsung selama 24 hari, tetapi banyak gejala sisa yang tetap ada setelah dinyatakan pulih. Pada bulan Maret 2020, ia melaporkan gejala baru: brain fog (kabut otak).

Brain fog berdampak pada kondisi mental individu dengan bermacam-macam gejala, ciri khasnya adalah bengong. Penderita mengeluhkan sulit mengingat, terlambat berpikir, tiba-tiba ngeblank atau tidak bisa fokus, padahal sebelumnya bukan tipe pelupa.

Setelah pasien mengonsumsi antihistamin untuk alergi keju pada Juli 2020, ia merasakan lebih baik. Ia minum 50 mg diphenhydramine (obat antibiasa yang dijual bebas, sering dijual dengan merek Benadryl) setiap hari.

Sampai akhirnya ia memberitahu dokternya, yang kemudian meresepkan obat lain untuk mencoba dan mencapai dosis yang bisa mengendalikan gejala long COVID tersebut.

Ia sekarang mengonsumsi 50 mg hydroxyzine pamoate selama lebih dari sembilan bulan. Gejala kelelahan, kabut otak, nyeri dada dan tidak mampu berolahraga hampir hilang. Dia mengatakan bahwa telah mencapai kondisi 90% dari sebelum sakit, dan kembali bisa bekerja penuh.

Kasus kedua adalah seorang guru paruh baya. Sebulan setelah terpapar COVID-19 ia masih merasakan nyeri sendi, insomnia, detak jantung lebih cepat dan kesulitan konsentrasi. Kondisi ini bahkan bertahan hingga satu tahun.

Satu hari secara acak ia mengganti obat antihistaminnya dari fexonadine menjadi diphendydramine 25 mg karena lebih mudah ditemukan. Keesokan paginya ia merasakan kabut otak dan kelelahannya membaik. 

Sekarang ia mengonsumsi diphendydramine 25 mg di malam hari dan 180 mg fexofenadine di pagi hari, dan mengatakan bila merasa 95% lebih baik.

Ternyata kedua kasus tersebut bukanlah pertama yang dilaporkan dari penyakit sejenis. Gejala long COVID mirip dengan sindrom kelelahan kronis (CFS), yang mempengaruhi lebih dari 24 juta orang di dunia.

Antihistamin kerap digunakan oleh pasien CFS, walau dalam penelitian kecil tahun 1996 ditemukan bila obat ini tidak memberi manfaat pada 30 pasien CFS.

Baru-baru ini, para ilmuwan telah mulai menyerukan perlunya penelitian baru tentang antihistamin sebagai kemungkinan pengobatan sindrom kelelahan kronis. Sebagian pasien CFS menunjukkan tanda-tanda sel imun yang terlalu aktif, yang mungkin dapat diredakan dengan antihistamin.

Saat pandemi melanda tahun 2020, peneliti menggunakan bukti untuk menarik hubungan yang serupa dengan long COVID.

Pada tahun 2021 sebuah penelitian pada 49 penderita long COVID menemukan sistem imun dalam keadaan siaga tinggi. Terlebih lagi, lebih dari 70% dari mereka yang menggunakan antihistamin dalam uji klinis ini melaporkan perbaikan gejala.

Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk benar-benar menguji antihistamin, tetapi berdasarkan dua laporan kasus terbaru di California tersebut dapat memberi gambaran. Riset ini diterbitkan dalam The Journal of Nurse Practitioners. (jie)