Pada 2010, pendiri Dexa Group Rudy Soetikno (alm) didiagnosis menderita kanker limfoma. Kemoterapi lini pertama untuk kanker yang menyerang system limfatik (kelenjar getah bening) ini adalah CHOP-R. Namun Bapak Rudy tidak bisa menerima pengobatan ini karena memiliki riwayat penyakit jantung. “Sahabat saya, seorang onkolog medis di Munchen, Jerman, menyarankan pengobatan dengan bendamustine-rituximab (BR),” ujar Ir. Ferry Soetikno, M.Sc, MBA, anak dari Bapak Rudy sekaligus CEO Dexa Group. Ini diungkapkannya dalam acara “Rudy Soetikno Memorial Lecture” yang diselenggarakan di Titan Center, Bintaro, Tangerang, Sabtu (27/012018).
Onkolog medis yang dimaksud, Dr. Med. Lothar Böning, turut hadir dalam acara tersebut. Ia menjelaskan, dibandingkan CHOP-R, BR menunjukkan lebih banyak remisi penuh, dan progression-free survival (PFS) yang lebih lama. PFS adalah masa di mana pasien bebas dari penyakit. Selain itu, CHOP tidak cocok untuk pasien dengan penyajkit jantungn karena bersifat hepatotoksik. “Maka, keputusannya jelas: bendamustine-rituximab,” ucapnya.
Namun sayangnya, obat ini tidak tersedia, bahkan tidak dikenal di Indonesia ataupun Singapura. Terpaksa Pak rudy bolak-balik ke Jerman untuk menjalani terapi, pertama kali pada September 2010. “Setelah siklus BR pertama, kami melihat fenomena yang mengagumkan. Ukuran tumor berkurang secara signifikan, dan tidak ada efek samping yang berarti,” tutur dr. Lothar.
Selama beberapa tahun, kanker limfoma berhasil dikontrol. Namun pada 30 Juli 2015 Bapak Rudy tutup usia karena serangan jantung, di usia 82 tahun.
Bercermin dari pengalamannya ini, Bapak Rudy memutuskan untuk membangun pabrik obat kanker (onkologi). “Sehingga banyak pasien Indonesia bisa mengakses obat berkualitas, mengingat untuk mengimpor obat dari luar negeri sangatlah mahal,” tutur Ferry. Pada 2014, didirikanlah PT Ferron Par Pharmaceuticals, dan bendamustine pun mulai diproduksi di Indonesia.
Mengurangi ketergantungan terhadap obat impor
Bapak Rudy bertekad, Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap obat impor. “Kehadiran obat ini otomatis akan mengurangi ketergantungan Indonesia dari obat kanker impor. Bendamustine menambah produksi lokal untuk obat-obat kanker setelah sebelumnya juga sudah dikembangkan di Indonesia,” ucap tahun 2018. Presiden Direktur Ferron Par Pharmaceuticals Krestijanto Pandji.
Dibandingkan obat impor, bendamustine produksi PT Ferron Par Pharmaceutical lebih murah karena dikembangkan di pabrik lokal. Namun kualitasnya terjamin, dengan memenuhi standar CPOB (cara pembuatan obat yang baik) Indonesia dan Eropa.
Selama ini, pengobatan pasien kanker limfoma terkendala oleh mahalnya obat dan kurangnya efikasi pengobatan. Kita bersyukur, atas rekomendasi RS Kanker Dharmais, bendamustine kini tengah diproses untuk masuk formularium nasional. “Diharapkan bisa diakses oleh pasien BPJS tahun 2018 ini,” tegas Pandji. (nid)