Minyak goreng masih langka dan jadi rebutan. Sebuah mini market di Bekasi yang baru saja menerima kiriman minyak goreng, langsung diserbu pembeli. Pengurus RT, RW dan aparat keamanan setempat ikut mengamankan agar semua kebagian.
“Kok minyak gorengnya nggak diturunkan semua?” ujar seorang warga.
“Maaf. Ini jatah untuk mini market yang lain,” ujar pengemudi mobil boks yang membawa minyak goreng.
Menyiasati kelangkaan minyak goreng, ibu rumah tangga memasak dengan lauk serba panggang, bakar, pepes atau rebus. Ibu-ibu berkantong tebal beralih ke minyak goreng kelas menengah atas, seperti minyak bunga matahari, minyak jagung atau minyak bekatul.
Masakan lebih enak
Ibu rumah tangga yang lain tetap memasak dengan cara menggoreng. Hanya saja, “Dulu, setelah dipakai menggoreng dua tiga kali, minyak goreng diganti. Sekarang, minyak kami pakai menggoreng lima, enam kali baru diganti. Ternyata makanan jadi lebih enak,” papar seorang ibu rumah tangga.
Sebuah penelitian menyatakan, minyak goreng yang sudah dipakai berulang kali, membuat tempe, tahu, bakwan dan lain-lain terasa lebih enak. “Dengan menggoreng berkali-kali, terjadi proses kimia yang membuat minyak menghasilkan taste lebih gurih," ujar dokter spesialis gizi klinik Juwalita Surapsari, dari Perhimpunan Dokter Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) Cabang Banten, dalam webinar beberapa waktu lalu.
Minyak yang sudah beberapa kali digunakan untuk menggoreng, warnanya akan berubah menjadi kehitaman, lebih kental dan berbuih. Hal ini terjadi sehubungan dengan titik didih yang menurun, dari 232 derajat Celcius menjadi 207 derajat Celcius.
Memunculkan radikal bebas
Efeknya, ketika minyak dipakai kembali, menjadi mudah terurai dan mengalami proses kimiawi panjang yang menghasilkan radikal bebas. Terjadi proses oksidasi, hidrolisis, dan polimerasi asam lemak yang menghasilkan senyawa bersifat karsinogenik.
Ada yang namanya acrolein, PAH (polycylic aromatic hydrcarbons) yang bersifat karsinogenik, atau meningkatkan risiko penyakit kanker. ”Saat menggoreng, minyak dalam suhu 170-220 derajat Celcius yang pertama terjadi adalah hidrolisis," kata dr. Juwalita, Sp.GK.
Hidrolisis merupakan pemecahan molekul trigliserida menjadi asam lemak bebas dengan gliserol, dengan bantuan air dari makanan. Selanjutnya, terjadi proses oksidasi yang menghasilkan senyawa aldehid, PAH yakni radikal bebas serta berubahnya struktur asam lemak menjadi trans fat. Batas trans fat, hanya direkomendasi untuk dikonsumsi di bawah 1 persen dari asupan makanan harian.
Dampak buruk bagi kesehatan
Semakin sering digunakan untuk menggoreng, trans fat pada minyak goreng akan semakin tinggi. Zat-zat berbahaya yang dihasilkan juga makin banyak. Di sisi lain, kata dr. Juwalita, “Efek antioksidan yang terkandung dalam minyak makin menurun.”
Akibatnya, kadar kolesterol jahat (LDL) dalam tubuh meningkat dan kesehatan akan terganggu. Dapat terjadi peradangan dalam tubuh. Peradangan di pembuluh darah, dapat menilbulkan plak yang menyebabkan penyempitan pembuluh dan aliran darah pun terhambat.
"Sering mengonsumsi lemak trans dalam makanan cepat saji, berisiko memunculkan plak di pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan stroke," tutur dr. Juwalita.
Ada hasil uji preklinis menarik, yang melibatkan hewan uji coba tahun 2012. Uji preklinis ini menunjukkan, pemberian minyak kelapa sawit yang dipanaskan 5-10 kali menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah dalam waktu 6 bulan.
Memicu kanker
Konsumsi lemak jenuh dari minyak yang dipakai berkali-kali, secara berlebihan, dapat mengganggu keberadaan bakteri baik di saluran cerna. Hal ini memudahkan terjadinya perubahan sifat sel, yang memicu kanker.
Kata dr. Juwalita, "Saya temukan, penderita kanker sekarang makin banyak yang muda usia. Dulu, pasien kanker usus besar laki-laki usia >50 tahun. Sekarang, banyak pasien kanker usus besar usia 30 tahun, bahkan yang lebih muda lagi." (sur)