“Setidaknya, satu dari sepuluh orang Indonesia mengidap hepatitis kronis, tapi tidak menyadarinya karena tidak bergejala,” ungkap dr. Irsan Hasan Sp.PD-KGEH, Ketua Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dalam diskusi Infeksi Hepatitis C dan Penanganan Komplikasinya yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (16/08/2017). Hepatitis (peradangan hati) ada yang berlangsung akut, ada yang kronis. Infeksi akut bisa disebabkan oleh virus hepatitis A dan E. Gejalanya cepat terasa, mendadak, dan sembuh dalam waktu singkat. “Kalau terkena infeksi ini akan sembuh sendiri. Biasanya paling lama satu bulan sudah baik,” terang dr. Irsan.
Pada kondisi kronis, penyakit pelan-pelan, tidak terasa gejalanya, tapi sulit sembuh. “Ini yang berbahaya,” tegas dr. Irsan. Hepatitis kronis bisa disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan C. lama kelamaan berbenjol-benjol (sirosis) dan berlanjut jadi kanker hati. Atau bisa pula langsung jadi kanker tanpa menjadi sirosis. Gejala seperti mata dan kulit kekuningan, perut membuncit dan lain-lain baru muncul saat hati sudah rusak, karena tidak bisa lagi mengeluarkan racun dari dalam tubuh sehingga menumpuk dan menimbulkan keluhan.
Hepatitis C memiliki keunikan tersendiri. Prevalensinya di Indonesia memang lebih rendah (1%) dibandingkan hepatitis B (2,5%), tapi lebih mudah menyebabkan infeksi kronik dibandingkan hepatitis B. “Kalau orang dewasa kena hepatitis B, 85 – 90% baik sendiri tanpa obat apapun. Hepatitis C kebalikannya; 90% tidak sembuh-sembuh, karena sulit dieliminasi oleh sistem imun,” terang dr. Irsan. Sedangkan hepatitis B mudah dihilangkan bila sistem imun tubuh kita baik.
Hepatitis B pun bisa dicegah karena sudah ada vaksinnya. Apalagi, kini vaksin sudah masuk program pemerintah. Dibagikan secara gratis pada bayi baru lahir, dilanjutkan dengan dua dosis lagi (usia 1 dan 6 bulan).
Hepatitis C hingga kini belum ada vaksinnya. “Virusnya bisa mengubah diri atau bermutasi sangat cepat,” ucap dr.Irsan. Skrining hepatitis C dilakukan dengan pemeriksaan anti-HCV, yakni melihat antibodi yang terbentuk akibat terpapar hepatitis C. “Kalau sudah punya antibodi harusnya kebal dong. Namun, antibodi ini tidak membuat kebal karena virus selalu berubah-ubah sehingga antibodi tidak mengenalinya. Vaksin pun jadi sulit dibuat,” paparnya. Hepatitis C seperti orang penyamar ulung; hari ini berkacamata, besok berjenggot, lusa berambut panjang.
Kelompok usia tertinggi infeksi hepatitis C di Indonesia adalah 50-59 tahun, namun untuk kelompok usia 35-39 saat ini cenderung ada kenaikan. “Ini adalah kelompok usia produktif, yang tentu akan membawa dampak yang lebih besar,” jelas dr. Wiendra Woworuntu, M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Ditjen P2PL Kemenkes RI.
Hepatitis C ditularkan melalui kontak darah. Berdasarkan surveilans Kemenkes, penularan hepatitis C utamanya dari penggunaan narkoba suntik dan hemodialisis (cuci darah). Faktor risiko lain misalnya memiliki keluarga pengidap hepatitis C, kontak darah dengan penderita hepatitis C, hubungan sekual yang tidak aman, operasi, tindik dan tato. Sering terjadi koinfeksi hepatitis C dengan HIV (human immunodeficiency virus) karena jalur penularannya sama, melalui kontak darah.
Virus hepatitis C utamanya berada di darah. “Pada cairan tubuh lain seperti air liur atau cairan sperma juga ada, tapi sangat sedikit sehingga jarang menyebabkan penularan,” ujar dr. Irsan. Karenanya, tidak perlu memisahkan peralatan makan/minum anggota keluarga yang menderita hepatitis C.
Hubungan seksual yang lebih berisiko yakni sesama lelaki. Kemungkinan karena risiko perlukaan yang terjadi lebih besar. Perempuan yang memiliki suami penderita hepatitis C tetap bisa berhubungan tanpa kondom bila ingin punya anak; risiko penularan melalui hubungan seksual hetero lebih kecil, dan virus tidak ditularkan melalui cairan sperma. Ibu yang menderit hepatitis C, kecil kemungkinan menularkan penyakit tersebut ke bayinya. Berbeda dengan hepatitis B, yang penularan utamanya dari ibu ke bayi.
Semua orang yang memiliki faktor risiko termasuk kelompok risiko tinggi, dan sebaiknya melakukan skrining. “Saat ini skrining dilakukan dengan Tes Cepat Molekuler (TCM), yaitu alat skrining yang cukup cepat mendeteksi hepatitis C dan dua infeksi lain. Kemenkes sudah memiliki 41 unit,” terang dr. Wiendra. Kemenkes maupun PPHI berharap ke depan akan semakin banyak penduduk yang diskrining. Dengan demikian, penderita bisa segera diobati. Sekarang, sudah ada obat yang sangat manjur dan efek sampingnya rendah, sehingga bisa diberikan pada semua orang yang memiliki skrining hepatitis C positif. (nid)
Baca juga: Terobosan Baru Obat Hepatitis C, Keberhasilan 90%