Heidi Seage, Cardiff Metropolitan University
Setengah dari orang dewasa di Inggris sedang berusaha menurunkan berat badan dengan mengendalikan asupan kalori mereka tiap tahun. Tapi sayangnya, menurunkan berat badan tak semudah membalik telapak tangan (atau menolak tawaran biskuit atau memilih makan salad). Bahkan orang-orang yang berhasil menjalani diet pun mengakui bahwa ini hal yang sulit dilakukan.
Walau tekad kita kuat, mengapa diet itu berat? Mengapa rasa lapar itu seolah tidak bisa dikendalikan?
1. Sinyal kehadiran makanan
Kita semua pasti pernah mengalami kejadian ini. Ketika kita berjalan melalui lorong penuh makanan di supermarket, atau mencium aroma sesuatu yang lezat, air liur kita sepertinya langsung menetes, tak peduli kandungan kalori atau nutrisi makanan itu. Godaan makanan seperti ini mungkin sulit diabaikan dan bukan hanya ditimbulkan oleh rasa atau bau, tapi juga oleh iklan atau logo makanan.
Ketika lapar, hormon ghrelin merangsang otak, sehingga kita lebih memperhatikan sinyal-sinyal makanan. Para periset juga menemukan bahwa saat lapar, otak kita lebih memberi perhatian pada sinyal makanan tak sehat (yang tinggi kandungan gula dan lemak).
Dalam beberapa penelitian, para responden diperlihatkan gambar-gambar makanan berkalori tinggi. Hasilnya, sinyal makanan itu menyebabkan respons nafsu makan seperti mengidam, meningkatnya air liur, dan keinginan untuk makan.
Semua ini menunjukkan bahwa kehadiran atau pertanda dari makanan berkalori tinggi amat mungkin mempersulit perjuangan orang-orang yang ingin menurunkan berat badan, apalagi jika mereka jadi lapar gara-gara diet itu.
Meski demikian, tubuh kita sebenarnya bisa dilatih untuk mengabaikan godaan makanan. Dalam sebuah penelitian, para responden yang diajarkan cara mengabaikan sinyal makanan berkalori tinggi ternyata mengonsumsi kudapan lebih sedikit ketimbang mereka yang dilatih untuk memperhatikan sinyal tersebut.
2. Makanan terlarang itu lebih menggoda
Ketika berdiet, kita harus “mengorbankan” makanan-makanan enak dalam rangka mengurangi asupan kalori. Tapi jika diminta menghindari makanan yang kita sukai, menurut peneliti justru kita akan lebih mengidamkannya, ketimbang jika kita tidak dilarang.
Pada studi lain, para responden penikmat cokelat diminta berhenti makan cokelat selama seminggu. Mereka merasa gambar cokelat dan makanan berkalori tinggi lainnya jadi lebih memikat. Ketika berhenti makan cokelat, mereka justru semakin ingin melahap makanan berkalori tinggi.
Baca juga: Pola makan ‘clean eating’ justru dapat merusak kesehatan anak
Selain itu, dalam riset yang lain, para responden diminta mencicipi makanan terlarang. Mereka yang kekurangan makanan tak sehat justru akan mengonsumsi lebih banyak kalori.
Ketika orang yang berdiet berupaya menghindari makanan yang mereka sukai, respons kognitif dan perilaku mereka justru menciptakan godaan yang lebih kuat.
3. Efek “ah sudah telanjur”
Ketika kita ingin mengurangi berat badan, pilihan makanan kita (dan waktu memakannya) biasanya dibatasi oleh aturan-aturan diet. Nah, aturan diet yang kaku bisa mengundang masalah, karena perilaku makan yang tidak didasarkan pada sinyal psikologis rasa lapar mungkin saja dapat menyebabkan overeating alias kebanyakan makan.
Ada masalah lain yang menyangkut diet, yakni tak peduli sekecil apa pun kita melanggarnya, diet kita bisa bubar seluruhnya (padahal kita cuma makan sepotong kecil kue, misalnya). Para periset menyebut ini “what-the-hell effect” yang telah dibuktikan dalam beberapa eksperimen laboratorium.
Secara konsisten, beberapa penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang sedang berdiet dan memakan kudapan berkalori tinggi (sehingga melanggar diet) justru akan mengonsumsi kalori lebih banyak lagi saat makan, ketimbang mereka yang merasa tidak melanggar aturan diet.
Pada kenyataannya, mengonsumsi beberapa kalori ekstra memang belum tentu berdampak langsung pada diet. Tapi “kegagalan” menjaga diet dapat memiliki dampak psikologis yang lebih besar, seperti memicu rasa bersalah dan stres, yang berujung pada kebanyakan makan.
Jadi apa yang bisa dipelajari dari sini? Diet yang mengharuskan Anda mengikuti aturan kaku atau melarang Anda makanan yang Anda sukai sepertinya lebih bermasalah, karena mereka justru meningkatkan risiko kebanyakan makan. Mungkin lebih berguna jika orang-orang yang berdiet mengakui fakta bahwa manusia itu sudah dari sananya terpikat dengan makanan berkalori tinggi, yang justru lebih menggoda di saat kita sedang lapar.
Meningkatnya angka obesitas membuat makin banyak orang berdiet guna mengurangi berat badan. Namun demikian, tidak ada pola makan yang sempurna dalam menolong kita meraih tujuan kesehatan. Memahami cara kerja otak, dan mengenali dampak psikologis diet mungkin membantu kita mengendalikan diri saat menghadapi godaan.
Heidi Seage, Lecturer in Psychology, Cardiff Metropolitan University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Ilustrasi: Pixabay