Akhir-akhir ini makin banyak pasien COVID-19 yang meninggal di rumah, saat melakukan isolasi mandiri. Salah satu penyebabnya, organ-organ tubuh kekurangan oksigen (hipoksia), sehingga tidak bisa berfungsi dengan normal. Memang ada kecenderungan, kadar oksigen pasien COVID-19 rendah, apalagi pada mereka yang memiliki komorbid.
Baru-baru ini, para peneliti dari Universitas Alberta, Kanada, mengungkapkan pemicu mengapa kadar oksigen pasien COVID-19 rendah. Ditemukan bahwa makin berat penyakit, makin banyak sel darah merah yang masih muda (immature) yang bersirkulasi di pembuluh darah, bahkan hingga 6%. Padahal dalam kondisi normal, hanya 0-1% sel darah merah muda di dalam aliran darah. Temuan ini berdasarkan dari pemeriksaan darah 128 pasien COVID-19; baik yang kritis dan dilarikan ke ICU, memiliki gejala sedang, atau hanya mengalami gejala ringan.
Sel Darah Merah Muda sebabkan Oksigen Pasien COVID-19 Rendah
Sel darah merah krusial bagi kehidupan, karena sel inilah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh. Sel darah merah diproduksi di sumsum tulang, lalu masuk ke aliran darah ketika sudah dewasa.
Dalam kondisi normal, sel darah merah muda hanya ada di sumsum tulang. “Banyaknya sel darah merah muda yang bersirkulasi di darah, menunjukkan bahwa virus memengaruhi sumber sel-sel tersebut. Akibatnya, serta untuk mengompensasi kekurangan sel darah merah dewasa yang sehat, tubuh pun memproduksi banyak sel darah merah, agar bisa mencukupi kebutuhan oksigen untuk tubuh,” papar salah seorang peneliti, Shokrollah Elahi.
Masalahnya, sel darah merah muda ternyata tidak mampu mengangkut oksigen. Pekerjaan ini hanya bisa dilakukan oleh sel darah merah dewasa. Selain itu, sel darah merah muda juga jadi sasaran empuk bagi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Sel darah merah muda memiliki reseptor ACE2 dan ko-reseptor TMPRSS2, yang menjadi ‘pintu’ bagi terjadinya infeksi oleh virus.
Terjadilah efek domino yang mematikan. Sel-sel darah merah muda diserang oleh virus. Ketika sel-sel ini mati, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen dengan mengeluarkan sel darah merah muda dari sumsum tulang, untuk bersirkulasi dalam darah. Namun bukannya membantu mengangkut oksigen seperti yang diharapkan, sel-sel ini malah jadi mangsa virus. Alhasil, replikasi virus makin banyak lagi.
Masalahnya tidak hanya sampai situ. “Sel darah muda menekan produksi antibodi, dan menekan imunitas sel T untuk membasmi virus, sehingga membuat situasi makin buruk lagi. Melalui penelitian ini, kami menunjukkan bahwa makin banyak sel darah merah muda berarti makin lemah respons imun terhadap virus,” jelas Elahi. Terungkaplah mengapa kadar oksigen pasien COVID-19 rendah.
Peran Obat Antiinflamasi
Pasien COVID-19 biasa mendapat obat antiradang (antiinflamasi). Penelitian ini memperkuat alasannya. Elahi beserta tim peneliti menguji berbagai obat untuk melihat kemampuannya mengurangi kerentanan sel darah merah muda terhadap infeksi virus.
Salah satunya obat antiinflamasi dexamethasone, yang telah diketahui mampu mengurangi angka kematian dan durasi penyakit COVID-19. “Dan kami menemukan pengurangan infeksi yang signifikan pada sel darah merah muda (dengan penggunaan obat ini),” ungkap Elahi.
Dexamethasone ternyata menekan respons reseptor ACE2 dan TMPRSS2 terhadap SARS-CoV-2 pada sel darah merah muda, sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. “Kedua, dexamethasone meningkatkan kecepatan sel darah merah muda menjadi matang, membantu sel-sel tersebut lebih cepat melepaskan nuklei. Tanpa nuklei, virus tidak punya tempat untuk bereplikasi,” tutur Elahi.
Segala pengobatan yang diberikan oleh dokter kepada pasien COVID-19 ada dasar ilmiahnya. Melalui penelitian ini, kita paham pentingnya pemberian antiradang untuk memperbaiki oksigen pasien covid-19 rendah. Jangan terpengaruh pendapat yang menyebutkan bahwa kematian terjadi akibat keracunan obat. (nid)
____________________________________________