Di pasar banyak beredar suplemen single vitamin dan multivitamin, dosis tinggi dan rendah. Kapan harus mengonsumsi suplemen dan mana yang lebih baik untuk tubuh?
Aktivitas dari pagi hingga sore menguras banyak tenaga dan pikiran, membuat tubuh lelah, tidak bugar dan stamina turun. Mengonsumsi makanan yang membuat kita asal kenyang, menjadikan tubuh kekurangan vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh.
Vitamin dan mineral tidak dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang banyak, sehingga disebut sebagai mikronutrisi. Meski sedikit, vitamin dan mineral diperlukan agar organ tubuh bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Selain mikronutrisi, ada makronutrisi yakni karbohidrat, protein dan lemak. Mikro dan makronutrisi saling mendukung dan melengkapi. Vitamin dan mineral ibarat material semen dan cat, yang berperan mengokohkan tembok dan membuatnya tahan terhadap cuaca.
Vitamin dan mineral berperan sebagai koenzim atau membantu hormon bekerja optimal, termasuk membantu terbentuknya sel-sel baru. Juga membantu pelepasan neurotransmitter. Yakni membantu rangsang pelepasan impuls saraf, agar pesan dari indera sampai ke otak dan diteruskan ke organ-organ tubuh yang berhubungan.
“Vitamin dan mineral adalah katalisator (membantu) pembentukan energi. Makanan yang kita konsumsi diubah menjadi energi di bagian sel, yang disebut mitokondria. Mitokondria sendiri tidak bisa bekerja optimal, jika kekurangan vitamin dan mineral. Kalau kita gampang merasa lelah, berarti produksi energinya tidak efisien; kurang vitamin dan mineral,” papar Dr. dr. Samuel Oetoro, MS, SpGK(K), dari Departemen Ilmu Gizi FKUI.
Tubuh tidak bisa memproduksi sendiri vitamin, kecuali vitamin K oleh bakteri di usus. Jadi, vitamin dan mineral harus dipenuhi dari luar. Secara alami, vitamin dan mineral banyak terdapat pada sayuran dan buah-buahan. Rekomendasi yang dikeluarkan American Heart Association (AHA) adalah 8 porsi atau 4,5 mangkuk dari berbagai jenis buah dan sayur sehari. Atau 400 gram buah dan sayur sehari menurut WHO.
Sayangnya konsumsinya di Indonesia masih jauh dari standar itu. Data Litbang Departemen Pertanian tahun 2013 memaparkan, konsumsi buah dan sayur per kapita hanya 34,55 kg/tahun dan 40,35 kg/tahun. Sementara FAO (Food Agriculture Organization) merekomendasikan, konsumsi buah & sayur setidaknya 73 kg per kapita per tahun. Sementara agar bisa sehat, FAO merekomendasikan konsumsi buah dan sayur 91,25 kg/kapita/tahun. Kekurangan itu, sebenarna, bisa ditutup dengan suplemen vitamin & mineral.
Pilih dosis tinggi atau rendah?
Dari sekian banyak pilihan suplemen vitamin dan mineral, kita dihadapkan pada dua kategori : dosis tinggi dan rendah. Dosis tinggi memang memberikan manfaat ‘instan’ sehingga tubuh lebih cepat bugar. Bukan berarti itu yang terbaik.
“Biasanya, seseorang akan minum vitamin dosis tinggi untuk awet muda. Suntik vitamin C sekian ribu miligram kalau badan loyo. Hati-hati, karena dengan dosis tinggi kemungkinan efek buruk bisa timbul. Jadi, yang paling aman adalah mengonsumsi dosis rendah,” papar dr. Samuel.
Konsumsi vitamin dosis tinggi (>1000 mg) dalam jangka panjang dapat menyebabkan toksifikasi, seperti mual, gangguan sistem pencernaan, kram perut, diare dan berisiko menyebabkan batu ginjal. Selain itu, juga menaikkan ambang toleransi agar tubuh merasa fit untuk beraktivitas. Menurut dr. Samuel, kalau biasa mengonsumsi dosis tinggi, begitu kita stop biasanya tubuh menjadi drop. Itu karena tubuh mengalami ketergantungan pada vitamin dosis tinggi, untuk fungsi imunitasnya.
Konsumsi suplemen vitamin/mineral sebaiknya dilakukan rutin setiap hari, bukan hanya saat kondisi badan sedang turun atau sakit. Studi meta analisa (membandingkan beragam riset) tahun 2007 pada 53 penelitian menyimpulkan, mengonsumsi suplemen vitamin C saat sudah terinfeksi common cold (radang tenggorokan / ISPA), tidak membuat durasi sakit atau derajat keparahan menurun. Namun, bisa mencegah kejadian common cold pada anak sampai 14% dan dewasa 8%, jika dikonsumsi rutin tiap hari.
Riset terbaru menunjukkan, zink justru lebih efektif melawan infeksi virus dibanding vitamin C. Tim peneliti dari Harvard Medical School merekomendasi konsumsi antara 15-25 mg zink/hari. Mineral ini dapat mengganggu perkembangan rhinovirus, biang keladi penyebab flu.
Para peneliti mencoba membandingkan penderita sakit flu yang mulai mengonsumsi zink saat sakit, dengan yang hanya menelan vitamin C. Studi pada tahun 2013 ini membandingkan 29 percobaan, yang melibatkan lebih dari 11.000 responden. Mereka tidak menemukan efek konsisten pemberian vitamin C, pada pengurangan durasi atau keparahan pilek. Sementara yang mengonsumsi zink, mengalami kejadian flu yang lebih pendek dan gejala yang lebih ringan.
Dan, disarankan untuk mengonsumsi multivitamin dibanding dengan single vitamin. Alasannya, kata dr. Samuel, “Kita tidak tahu vitamin dan mineral apa yang sedang dibutuhkan tubuh. Cukup konsumsi multivitamin dosis rendah antara 60-90 mg/hari, untuk menjaga kesehatan tubuh.”
“Memang, idealnya kita melakukan tes DNA dari air liur, kemudian dites di laboratorium. Akan diketahui, vitamin atau mineral apa yang kurang. Sayangnya, ini belum bisa dilakukan di Indonesia. Jadi untuk amannya, minumlah multivitamin dan mineral,” papar dr. Samuel.
Siapa yang butuh suplemen vitamin dan mineral?
Pada dasarnya, siapa saja dapat mengonsumsi suplemen vitamin dan mineral. Namun, pada mereka dengan kondisi tertentu, vitamin an mineral jelas dibutuhkan. Seperti, pada wanita hamil dan menyusui, vegetarian, mereka yang sedang melakukan diet rendah kalori, mereka yang tergolong picky eaters (hanya mau makanan tertentu). Juga orang yang memiliki alergi atau menderita sakit tertentu; termasuk kanker.
Yang perlu dipahami, suplemen makanan bukanlah pengganti makanan, namun sekedar pelengkap. Dalam satu jenis sayur atau buah terdapat ribuan fitokimia (zat kimia tanaman; biasanya bersifat antioksidan) dan serat. Jika ini digabungkan, akan memberi manfaat berkali lipat bagi tubuh.
“Kalau kita klik di internet: healhty food (makanan sehat), yang keluar pasti buah dan sayur. Jadi, sebelum berpikir mengonsumsi multivitamin, lebih baik perbaiki dulu pola makan kita,” papar dr. Samuel. (jie)