Remdesivir merupakan salah satu obat yang terlihat berpotensi besar sebagai obat virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19. Lebih dari 100 pasien dinyatakan sembuh setelah dirawat dengan remdesivir. Namun begitu peneliti belum berani untuk menyimpulkan bila obat ini bisa dipakai untuk COVID-19, kenapa?
Remdesivir sejatinya adalah antivirus eksperimental untuk Ebola (telah dibuat selama 10 tahun) yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi besar di Amerika Serikat, Gilead Sciences. University of Chicago Medicine merekrut 125 penderita COVID-19 ke dalam dua uji klinis fase 3. Dari jumlah tersebut, 113 mengalami gejala yang parah. Seluruh pasien dirawat menggunakan infus remdesivir tiap hari.
Bagaimana remdesivir bekerja? Baca : Remdesivir Efektif Menghentikan Replikasi Enzim Kunci COVID-19
Dilansir dari statnews, Kathleen Mullane, spesialis penyakit menular dari University of Chicago yang mengawasi penelitian tersebut mengatakan, “Berita terbaiknya adalah bahwa sebagian besar pasien sudah keluar. Kami hanya kehilangan (meninggal) dua pasien.”
Walau riset ini memberikan hasil yang menggembirakan, Mullane memiliki keraguannya tersendiri dan belum mau mengambil terlalu banyak kesimpulan.
Ini disebabkan riset yang dilakukan tersebut tidak melibatkan kelompok placebo (kelompok kontrol) sebagai pembanding. “Tetapi tentu saja ketika kami memulai pengobatan, terlihat kurva demam mulai turun,” imbuhnya. “Sebagian besar pasien (partisipan) memiliki gejala parah, dan sebagian besar dari mereka pulang ke rumah dalam enam hari. Kami hanya memiliki sangat sedikit pasien (3 pasien) yang harus menjalani terapi hingga 10 hari.”
Ia menambahkan masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan dari uji coba tersebut.
Riset juga dilakukan secara bersamaan
Uji coba yang sama juga sedang dijalankan secara bersamaan di institusi lain. Namun belum ada data klinis dari studi tersebut yang dirilis hingga saat ini. Dalam pernyataan resminya Gilead mengatakan, “Apa yang bisa kami katakan pada tahap ini adalah kami menantikan data dari studi yang masih sedang berlangsung.”
Penelitian Gilead pada pasien COVID-19 yang parah melibatkan 2.400 partisipan dari 152 lokasi uji klinis berbeda di seluruh dunia. Riset pada pasien COVID-19 yang moderat mencakup 1.600 pasien di 169 pusat studi berbeda di seluruh dunia.
Penelitian ini hendak melihat dampak pada perawatan 5 dan 10 hari menggunakan remdesivir. Tujuan utamanya adalah mendapatkan perbandingan statistik perbaikan pasien antara dua kelompok pengobatan tersebut.
Perbaikan diukur menggunakan skala numerik tujuh poin, yang meliputi kematian sebagai parameter paling buruk, dan keluar dari rumah sakit sebagai hasil terbaik. Tidak adanya kelompok kontrol (placebo) membuat penafsiran hasil penelitian menjadi menantang.
Walau seluruh dunia sedang menantikan hasil riset tersebut, kurangnya data telah menyebabkan ekspektasi terhadap obat ini naik-turun. Dua studi di China terpaksa ditangguhkan karena kurangnya responden. Satu studi tersebut mengevaluasi remdesivir pada pasien COVID-19 yang lebih parah seperti menggunakan oksigen tambahan. Penelitian lain dilakukan pada infeksi COVID-19 yang telah dirawat di rumah sakit tetapi tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan. (jie)