Otoritas kesehatan Korea Selatan mempercayai bila negara itu sudah menghadapi gelombang kedua pandemi COVID-19, walau mereka mencatat jumlah kasus yang rendah.
Korea Selatan termasuk negara yang sukses menangani COVID-19 tanpa harus melakukan lockdown. Negara ini diketahui telah menerapkan langkah-langkah penanggulangan yang matang, seperti melakukan tes swab skala besar, pelacakan yang agresif dan penerapan social distancing secara ketat.
Tetapi sekarang para ilmuwan tidak menyangkal bila pandemi ini tampaknya akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan. Menurut kepala Korea Centers for Disease Control (KCDC), Jung Eun-kyeong, gelombang pertama pandemi terjadi hingga April 2020.
Namun sejak Mei, klaster kasus baru telah berkembang, termasuk klaster klub malam di Seoul. Di antara periode waktu tersebut, kasus harian yang terkonfirmasi bekurang dari hampir seribu hingga nol (o) infeksi selama tiga hari berturut-turut. Kemudian pada Senin (22/6/2020) lalu tercatat 17 kasus infeksi baru dalam 24 jam yang berasal dari klaster-klaster yang berbeda.
Dr. Jeong mengatakan berdasakan mulai merebaknya kasus baru tersebut ia menyimpulkan bila negara itu telah memasuki gelombang kedua pandemi COVID-19, dan ia memperkirakan kasusnya akan terus berlanjut.
Pemerintah kota Daejeon, di sebelah selatan Seoul, mengumumkan akan melarang orang-orang berkumpul di museum, perpustakaan dan ruang publik lain setelah ditemukan adanya klaster virus baru.
Sementara itu walikota Seoul juga memperingatkan bila ibukota mungkin harus kembali menerapkan pembatasan sosial yang ketat, jika ada peningkatan kasus selama tiga hari kedepan dan pertambahan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit hingga 70%.
Sebelumnya sebanyak 280 orang telah meninggal sejak pemerintah Korsel melaporkan kasus pertamanya pada 20 Januari 2020. Secara keseluruhan, lebih dari 12.000 kasus infeksi yang dicatat dan diperkirakan bahwa saat ini masih ada 1.277 kasus aktif di negara ini.
Indonesia diprediksi sebagai hotspot baru?
Media asing Sydney Morning Herald (SMH) pada Jumat (19/6/2020) lalu menulis bila Indonesia diprediksi akan menjadi hotspot baru penyebaran virus corona. Salah satu alasannya adalah rendahnya tingkat pengujian dan tingginya kematian secara proporsional.
Indonesia yang berada di peringkat ke 29 negara dengan kasus infeksi COVID-19 terbanyak, menurut situs Worldmeter telah melakukan 2.444 tes per 1 juta orang (total yang dites sebanyak 668.219 orang). Pemerintah pernah mencatatkan rekor 10.000 pengujian per hari, namun hanya terjadi pada hari itu.
Sebagai perbandingan, AS telah melakukan 89.318 tes per 1 juta orang, Korea Selatan 23.574 tes per 1 juta orang, dan Singapura 116.996 tes per 1 juta populasi.
SMH juga menyebutkan angka kematian untuk anak-anak karena COVID-19 cukup tinggi. Kematian untuk orang di bawah 18 tahun yang tercatat resmi sebanyak 28 orang, tetapi 380 anak berstatus PDP meninggal. “Artinya mereka menunjukkan gejala virus tetapi belum diuji,” tulis SMH.
Terlepas prediksi dari media negara tetangga, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya pencegahan penyebaran virus corona. Yang terbaru sebagai bagian dari kenormalan baru Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/382/2020, tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum.
Ini diperlukan karena pemerintah di beberapa tempat telah melonggarkan PSBB, dan membuka kembali perkatoran, mal, tempat ibadah dan transportasi umum. (jie)