Penelitian Diabcare tahun 2010 menemukan, 32% pasien diabetes di Indonesia sudah terkontrol. “Hasil ini berdasar survei di 18 pusat diabetes seluruh Indonesia, dengan sekitar 2000 pasien,” terang Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD, Guru Besar Endokrinologi FKUI/RSCM, dalam diskusi di Jakarta. Dibanding negara tetangga seperti Malaysia (22%) dan Filipina (15%), Indonesia cukup baik; tapi belum sebaik India (37,8%) dan Korea Selatan (43,5%). “Komplikasi diabetes bisa dicegah bila gula darah terkontrol dan HbA1c bagus,” tegasnya.
Tolok ukur penelitian, HbA1c mencapai target (<7%). Ini adalah nilai rata-rata gula darah dalam 3 bulan terakhir. Di aliran darah, gula akan menempel di sel darah merah, dan tidak akan lepas hingga sel darah merah hancur (umur sel darah merah sekitar 90-120 hari). Gula yang menempel di sel darah merah inilah yang diukur sebagai HbA1c. Makin sering dan makin banyak asupan gula, HbA1c makin tinggi. Hal ini tidak bisa dibohongi, dengan menjaga pola makan sebelum pemeriksaan.
Pemeriksaan HbA1c dilakukan minimal 3x setahun. “Kalau kadar gula darah masih tinggi, perlu lebih sering,” terang Prof. Pradana. Pemeriksaan HbA1c dilakukan di laboratorium. Pemeriksaan HbA1c dibayar BPJS untuk dua kali pemeriksaan dalam setahun, tapi, “Depkes belum mengeluarkan tarifnya sehingga BPJS belum bisa membayar,” imbuh Prof. Pradana. Saat ini, biaya pemeriksaan dibayar oleh pasien, sekitar Rp. 100.000 - 200.000.
Sejak 5 tahun lalu, ada pelatihan terhadap 500 internis (ahli penyakit dalam) dan 5.000 dokter umum dari seluruh Indonesia. Ini bagian dari program kemitraan PDCI (Partnership in Diabetes Control in Indonesia) antara asosiasi dokter, pemerintah dan swasta. Ada harapan, pasien diabetes di mana pun bisa mendapat perawatan yang baik: dokter menyarankan untuk periksa HbA1c minimal 2x setahun, memeriksa kaki pasien tiap kali kontrol untuk menilai apakah ada luka, hingga merujuk pasien untuk check up 1x setahun. (nid)