Masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa, memang akrab dengan jamu atau obat tradisional berupa ramuan dari tumbuhan atau bahan mineral lain. Jamu atau ramuan itu sudah secara turun-temurun digunakan untuk mengobati berbagai keluhan kesehatan.
Dalam dunia medis, jamu mulai “naik daun” dan dinyatakan sebagai complimentary medicine. Daya tarik utama obat herbal adalah karena berasal dari alam, bukan dari bahan kimia. Semakin banyak penelitian dilakukan tentang herbal dan khasiatnya.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencatat, penggunaan herbal terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 1980, pengguna obat herbal sebesar 19,9%, tahun 1986 : 23,3%, tahun 2001: 31,7%, tahun 2004: 32,8% dan terus naik.
Dr. Aldrin Neilwan. P, MD. MARS, M.Biomed, M.Kes, SpAK., Sekretaris Jendral Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia mengatakan, ”Penggunaan herbal cenderung meningkat, karena ada masalah kesehatan yang tak teratasi secara efektif / memuaskan dengan menggunakan pengobatan konvensional dan modern. Terutama pada penyakit kronik, degeneratif dan kanker. Belum lagi efek samping penggunaan obat kimia.”
Penggunaan herbal/jamu meliputi ranah promotif, preventif, rehabilitatif dan paliatif. Ada pun pengobatan konvensional untuk terapi utama / kuratif. “Obat herbal dapat dikombinasikan dengan pengobatan konvensional dalam terapi kuratif. Bukan untuk menggantikan, tetapi untuk komplemen dan mengurangi dosis obat kimia. Hal ini dapat mengurangi biaya obat,” ujar Kepala Unit Complementary Alternative Medicine RS Kanker Dharmais ini.
Herbal untuk kanker
Penelitian di RS Kanker Dharmais tentang penggunaan herbal sebagai pendukung kemoterapi, menunjukkan hal yang positif. Herbal yang digunakan antara lain jamur Cordyceps sinensis, rumput Lidah Ular (Oldenlandia diffusae), Indigo pulverata levis dan jamur Polyporus umbellatus. Pemberian obat herbal selama empat minggu, bisa meningkatkan imunitas pasien kanker yang biasanya menurun akibat kemoterapi atau radiasi.
Konsep pengobatan herbal ialah membangun, sehingga hasil pengobatan tampak lama. Berbeda dengan obat kimia yang bekerja cepat langsung pada masalah. Herbal berfungsi membantu proses kesembuhan, dengan cara memperkuat jaringan yang terserang serta memperbaiki kerusakan, menghentikan pendarahan, menghilangkan racun dan rasa sakit.
Yang perlu dipahami, obat herbal juga memiliki efek samping. Bagian tanaman (akar, daun, batang, dll) mengandung zat-zat aktif yang bisa berpotensi merugikan tubuh. Maka, pemanfaatannya harus dengan dosis yang tepat.
Pasien bisa dan berhak menggunakan obat herbal untuk terapi penyakitnya. Namun, sebaiknya memberitahukan dokter tentang herbal yang digunakan agar tetap dalam pantauan. “Dokter tidak akan pernah menolak penggunaan herbal, selama sudah lolos uji praklinis dan klinis. Survei di RS Dharmais, 80% pasien kanker menggunakan pengobatan tradisional. Itu angka yang besar,” kata dr. Aldrin.
Selain RS Kanker Dharmais, saat ini beberapa rumah sakit sudah mengembangkan terapi herbal sebagai penunjang. Di antaranya RS Persahabatan (Jakarta), RS. Dr. Soetomo (Surabaya) dan RS Kandau (Manado). “Penelitian di RS Dharmais, herbal untuk kanker bisa digunakan sebagai antioksidan, imunomodulator atau untuk mengecilkan tumor,” katanya. (jie)