skrining rapid test tidak menjadi syarat periksa ke rumah sakit

Haruskah Lakukan Skrining Rapid Test Dulu Sebelum Periksa ke Rumah Sakit?

Ada banyak cerita tentang rapid test menjadi syarat ‘masuk’ ketika seseorang ingin melakukan pemeriksaan penyakit tertentu di rumah sakit. Aturan ini diterapkan untuk melindungi tenaga kesehatan. Tetapi benarkah seorang pasien harus mengantongi hasil rapid test sebelum periksa ke rumah sakit?  

Banyak pasien yang memiliki penyakit tertentu, seperti diabetes, cek kehamilan atau gagal ginjal, yang mengharuskan pemeriksaan rutin di rumah sakit. Di satu sisi selama pandemi COVID-19 ini rumah sakit melakukan beberapa perubahan metode pelayanan yang bertujuan untuk melindungi tenaga medis.

Tidak dipungkiri bila tenaga kesahatan (dokter, perawat dan pegawai rumah sakit) berisiko tinggi tertular virus SARS-CoV-2. Menurut dr. Daeng M. Faqih, SH, MH, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ada risiko infeksi silang COVID-19 dari pasien ke nakes (tenaga kesehatan).

“Di China, 4% dari jumlah kasus di awal pandemi adalah tenaga kesehatan. Selain itu terjadi infeksi nosokomial (penularan yang terjadi di rumah sakit) SARS-CoV-2 pada pasien yang tidak terinfeksi. Dilaporkan 41% terjadi pada satu senter di China,” terang dr. Daeng dalam sesi webinar rekomendasi IDI untuk tenaga kesehatan dalam masa pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu.

Lantas bagaimana untuk mengurangi risiko infeksi silang? Dr. Daeng menjelaskan ada beberapa poin rekomendasi yang dikeluarkan IDAI :

  1. Mengurangi risiko infeksi di fasilitas dengan tidak melakukan operasi elektif, membatasi pintu masuk dan mengatur pengunjung, skrining pengunjung.
  2. Mengisolasi pasien bergejala secepatnya dengan membuat triase terpisah yang berventilasi baik, memisahkan pasien yang diduga / positif COVID-19 dengan pintu tertutup dan toilet sendiri.
  3. Melindungi tenaga kesehatan dengan alat pelindung diri (APD) dan menjaga higienitas tangan.  

Tampaknya dalam rapid test ini adalah sebagai bagian dari skrining pengunjung (poin 1). Ada pro dan kontra yang berkembang di masyarakat.

Mereka yang sejutu menganggap kebijakan tersebut sudah selayaknya dilakukan, selain untuk mengetahui kondisi pasien itu sendiri, juga melindungi nakes yang berkerja di garis depan. Tetapi sebagian orang merasa tidak setuju karena biaya rapid test yang tidak murah – sekitar Rp. 200 ribu.

Tentang hal ini sebenarnya Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) sudah mengeluarkan surat edaran dengan nomor 735/1B1/PP.PERSI/IV/2020, tertanggal 24 April 2020. Dalam salah satu butirnya disebutkan rapid test tidak menjadi persyaratan untuk pasien dapat dilayani oleh rumah sakit.  

 

Dalam surat tersebut dijelaskan untuk menjaga setiap upaya yang dilakukan oleh rumah sakit dalam koridor hukum dan sesuai etika perumahsakitan, disampaikan agar rumah sakit melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

  1. Tidak melakukan promosi berlebihan terhadap pelayanan pemeriksaan rapid test screening COVID-19, karena metode ini hanya merupakan suatu alternatif diagnosis untuk mendeteksi adanya infeksi COVID-19 pada pasien.
  2. Memberikan informasi harga atau biaya pelayanan hanya pada media internal yang terdapat di dalam rumah sakit atau web rumah sakit, dan tidak menampilkan harga atau biaya pelayanan pada media informasi terbuka seperti media massa umum, baliho, sepanduk, billboard, ataupun berbentuk addsense di situs-situs media sosial.
  3. Tidak menjadikan pelayanan pemeriksaan rapid test screening COVID-19 sebagai persyaratan untuk pasien dapat dilayani oleh rumah sakit dan biaya pemeriksaannya dibebankan kepada pasien, karena hal ini bersifat menyesatkan, memaksa dan melanggar hak-hak pasien.
  4. Bahwa pemeriksaan diagnostik dilakukan dengan mengikuti ketentuan dari organisasi profesi sehingga memiliki dasar keilmuan yang berbasis bukti, serta interpretasinya hanya dapat dilakukan oleh dokter yang memiliki kompetensi. (jie)