M. Atoillah Isfandiari, Universitas Airlangga
Sejak akhir Juni, Jawa Timur menyumbangkan kasus COVID-19 baru terbanyak di Indonesia.
Provinsi ini kini memiliki total kasus COVID-19 tertinggi (22%), sekitar 16.600 kasus per 13 Juli, mengungguli DKI Jakarta (sekitar 14.500 kasus). Secara umum penularan Covid-19 di tengah masyarakat di Jawa Timur belum bisa dikendalikan.
Tingkat kematian akibat COVID-19 di provinsi ini juga yang tertinggi di antara 38 provinsi, yaitu 7,57%, menurut data Dinas Kesehatan Jawa Timur per 5 Juli. Data ini termasuk kematian petugas kesehatan mencapai 6% (21 dari 325 petugas kesehatan yang terinfeksi COVID-19 per 3 Juli). Persentase kematian tenaga kesehatan ini yang terbanyak, termasuk meninggalnya 10 dokter, 6 perawat, dan 3 bidan.
Ada dua penyebab utama mengapa saat ini Jawa Timur menjadi provinsi yang melampaui DKI Jakarta dalam jumlah kasus Covid-19 maupun pertambahan kasus baru. Pertama, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan protokol kesehatan di Jawa Timur yang masih relatif rendah dan kedua, lemahnya kebijakan kesehatan terkait penanganan wabah ini di Jawa Timur.
Tak pakai masker dan tidak jaga jarak fisik
Perilaku individu memang sulit diubah, tapi jika pemerintah persuasif dan tegas, mereka akan patuh karena ini menyangkut keselamatan penduduk secara keseluruhan. Menjaga jarak fisik, mencuci tangan dengan sabun dan memakai masker merupakan protokol kesehatan yang mudah dilaksanakan untuk mencegah penularan Covid-19.
Meski sempat mengagetkan, misalnya, angka ketidakpatuhan penggunaan masker di Jawa Timur mencapai 70% saat berakvitas ekonomi dan sosial di luar rumah. Artinya hanya sekitar sepertiga penduduk yang memakai masker saat berinteraksi di ruang publik.
Temuan itu merupakan hasil survei evaluasi implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) tahap pertama dan kedua yang dilakukan pada Mei. Survei digelar oleh Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Jawa Timur dan Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Dari survei ini ditemukan mayoritas responden, sekitar 62%, tidak menjaga jarak fisik 1-2 meter saat beraktivitas di luar rumah.
Survei serupa dari lembaga yang sama pada 23-24 Juni menunjukkan ada peningkatan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan meski belum mencapai 80%.
Penggunaan masker dan menjaga jarak fisik merupakan protokol kesehatan yang paling mudah dilaksanakan, bisa diamati dan dievaluasi pelaksanaannya sehingga level kepatuhan masyarakat terhadap protokol ini bisa diukur.
Kebijakan lemah
Penyebab kedua adalah lemahnya kebijakan kesehatan terkait penanganan wabah ini di Jawa Timur.
Salah satu kebijakan yang harus diterapkan di ketiga daerah ini, juga di 7 kabupaten/kota lain yang zona merah dan 22 kabupaten/kota zona oranye, adalah pembatasan mobilitas dan aktivitas sosial masyarakat. Akan tetapi kenyataan di lapangan, saat ini tidak ada kebijakan dengan penegakan sanksi tegas yang terkait pembatasan tersebut.
Berdasarkan data yang direkam Google Mobility selama Idul Fitri hingga minggu terakhir Juni, mobilitas dan interaksi di dalam maupun antarwilayah di 31 kabupaten kota ini masih cukup tinggi.
Dari fakta ini, maka tidak mengherankan bila salah satu kabupaten yang sempat menjadi zona hijau, Kabupaten Madiun, saat ini menjadi zona kuning kembali.
Saat ini 75% kasus COVID-19 di Jawa Timur disumbang oleh Surabaya Raya: Kota Surabaya, sebagian Kabupaten Sidoarjo dan Gresik. Ketiga daerah tersebut saat ini termasuk zona merah.
Mobilitas masyarakat ini berpotensi semakin meningkatkan pertambahan kasus baru karena pada akhir Juli ini akan ada kegiatan keagamaan Idul Adha, dan kecenderungan ini terlihat dari peningkatan arus kendaraan. Secara tradisi, Lebaran Haji merupakan waktu mudik bagi sebagian masyarakat Jawa Timur, terutama yang berdomisili di Pulau Madura.
Faktor-faktor lainnya
Selain dua faktor di atas, ada beberapa alasan pendukung lainnya. Salah satunya adalah minimnya tes dan pelacakan.
Meski secara umum Jawa Timur sudah cukup massif melakukan testing, kenyataannya tes yang menggunakan sampel dari lendir hidung atau tenggorokan dengan tes real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR) masih jauh lebih rendah dibanding daerah lain di Pulau Jawa, yaitu hanya 1.568 tes per 1 juta penduduk atau 3.872-3.992 tes per hari.
Jumlah pengetesan ini lebih rendah dari standar WHO untuk Provinsi Jawa Timur yaitu 5.700 testing per hari. Sedangkan persentase yang positif (positivity rate) dari pengetesan tersebut cukup tinggi, sekitar 19%, sedangkan standar WHO mensyaratkan di bawah 5%
Kapasitas laboratorium pemeriksaan di Jawa Timur sebenarnya cukup besar. Namun, sebagian besar alat dan laboratorium ini masih terpusat di Kota Surabaya, sementara itu ada beberapa kabupaten yang cenderung tidak memperbanyak testing di daerahnya agar kasus yang terdeteksi tidak naik.
Upaya pelacakan kontak juga belum optimal. Kota Surabaya memiliki jumlah kasus tertinggi, tapi rasio pelacakannya hanya mencapai 2,8. Artinya rata-rata dari satu kasus terkonfirmasi positif hanya dapat dilacak sekitar 2-3 orang saja dari setidaknya 25 orang yang seharusnya terlacak.
Dengan angka serangan yang tinggi, yaitu 211,3 per 100.000 penduduk (per 2 Juli 2020) – angka ini merupakan tertinggi untuk ukuran kota setelah Jakarta Pusat dan Makassar –, maka risiko penularan di Kota Surabaya tinggi.
Untuk level provinsi, angka serangan di Jawa Timur memang bukan yang tertinggi tapi tetap mengkhawatirkan.
Kepadatan penduduk juga menjadi satu penyebab. Kota Surabaya memiliki penduduk 3,1 juta jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 8.600 per kilometer persegi. Hal ini juga menyebabkan semakin mudahnya penularan antarpenduduk.
Dengan risiko penularan yang tinggi, maka tingginya kepadatan penduduk ini berimbas pada cepatnya laju pertambahan kasus baru COVID-19. Dan pada akhirnya akan berimbas pada tingginya kasus di Jawa Timur.
Masukan
Dengan mempertimbangkan situasi demografi dan karakteristik penularan COVID-19 seperti itu, mestinya kebijakan kesehatan yang diterapkan di Jawa Timur lebih diselaraskan di tingkat provinsi maupun antarkabupaten/kota.
Artinya, sebagaimana karakteristik penyebaran penyakit menular pada umumnya yang tidak mengenal batas-batas wilayah administratif, maka status penularan di suatu wilayah tentu berpengaruh pada wilayah lain. Bila upaya dan kebijakan yang diterapkan masing-masing kabupaten kota tidak selaras serta tidak mengacu pada rekomendasi dari kajian epidemiologis, maka akan sulit mengendalikan Covid-19.
Tapi kenyataannya, kini banyak kabupaten kota yang kebijakannya terkesan lebih memprioritaskan masalah ekonomi. Ini tampak dari telah dibukanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak termasuk kebutuhan dasar masyarakat dan bersifat rekreatif serta tempat-tempat pendidikan berasrama seperti pesantren di daerah yang masih termasuk zona merah.
Jika kebijakan “populis dengan memprioritaskan ekonomi” itu diteruskan, bukan hal aneh jika kasus COVID-19 di Jawa Timur akan terus naik.
Kebijakan mengendalikan penyakit mestinya mengacu pada kajian epidemiologis yang akurat. Pemerintah juga harus meningkatkan kepatuhan institusi dan anggota masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan pakai sabun.
M. Atoillah Isfandiari, Dosen Epidemilogi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
_________________________________________
Ilustrasi: House photo created by tirachardz - www.freepik.com