Ias tidak menyangka, sakit punggung yang dialaminya ternyata adalah gejala dari kanker getah bening atau limfoma. Keluhan sakit punggung mulai dirasakan oleh Ias sejak 2016. Ia kira, hanya kecapekan karena baru pulang liburan menggunakan sleeper bus. Kecurigaan lain, ia mengalami saraf kejepit lantaran sering berolahraga angkat beban. Sama sekali tidak disangkanya bahwa itu adalah gejala limfoma Hodgkin.
Berbagai terapi pun dijalani Ias untuk mengatasi sakit punggungnya. Mulai dari yoga, berenang, hingga fisioterapi. “Tapi bukannya membaik, malah memburuk,” ujarnya. Tak hanya sakit punggung, ia juga mengalami gejala lain yaitu berkeringat di malam hari, batuk, hingga demam hampir setiap hari. Sempat pula ia dicurigai TB (tuberkulosis) lantaran gejala-gejala tersebut.
Akhirnya, Ias menjalani pemeriksaan lebih lanjut dengan biopsi dan PET Scan. “Barulah diketahui bahwa saya menderita limfoma Hodgkin. Diagnosisnya keluar bertepatan dengan hari ulang tahun saya,” ujarnya, saat dijumpai di diskusi media bertajuk “Kenali Limfoma Hodgkin” di Jakarta (26/9/2024). Ias yang kini berusia 35 tahun, didiagnosis limfoma stadium 4.
Ias (kanan) bersama Intan Khasanah (kiri) dan Dr. dr. Andhika Rachman Sp.PD-KHOM (kanan) / Foto: Takeda
Mengenali Gejala Limfoma Hodgkin
Limfoma adalah kanker yang menyerang sistem limfatik (getah bening). Secara umum, ada dua jenis limfoma, yaitu Hodgkin dan non-Hodgkin. Perbedaannya terletak pada sel Reed-Stenberg, yang terdapat pada limfoma Hodgkin. Limfoma Hodgkin kerap menyerang di usia dewasa muda dan usia >55 tahun, dan lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gejala limfoma Hodgkin sering kali tidak spesifik sehingga sulit dikenali, dan baru didiagnosis pada tahap lanjut. Menurut Dr. dr. Andhika Rachman Sp.PD-KHOM, limfoma Hodgkin adalah penyakit 1000 wajah, alias sering menyerupai gejala penyakit lain. “Paling sering didiagnosis sebagai TB kelenjar. Ada juga didiagnosis saraf kejepit bahkan gagal ginjal akut,” paparnya.
Mereka yang didiagnosis TB kelenjar perlu mengamati kondisinya sendiri; apakah obat TB yang diberikan dokter berpengaruh. Seharusnya, pengobatan TB akan membuat kondisi pasien membaik. “Kalau keluhan tidak juga membaik dengan pemberian obat TB, maka perlu dicurigai limfoma,” imbuh Dr. dr. Andika.
Ia melanjutkan, kita perlu lebih waspada terhadap beberapa gejala yang bisa mengarah ke limfoma. Misalnya benjilan di area getah bening, yang bisa disertai dengan gejala sistemik B symptoms. “Yaitu demam lebih dari 38 derajat C tanpa sebab yang jelas, keringat berlebihan di malam hari, serta penurunan bobot badan lebih dari 10% dalam 6 bulan berturut-turut tanpa disertai diet dan penyakit lain,” papar Dr. dr Andhika.
Segeralah berkonsultasi ke dokter bila mengalami gejala-gejala demikian. “Semakin cepat Limfoma Hodgkin didiagnosis, semakin besar peluang untuk memulai pengobatan yang tepat, dan semakin tinggi angka kelangsungan hidup,” tandasnya.
Limfoma Hodgkin bisa Sembuh?
Sayangnya, tidak ada istilah “sembuh” dalam kanker. Istilahnya adalah remisi, yaitu tidak ditemukan lagi sel kanker di dalam tubuh, dan tidak ada gejala yang muncul. Remisi berbeda dengan sembuh total. Pasien kanker yang sudah remisi tetap harus control secara teratur, dan menjaga kesehatannya, untuk meminimalkan kemungkinan relaps atau kambuh. Biasanya, pasien bisa merasa lega setelah mengalami remisi selama 5 tahun.
Pengobatan limfoma Hodgkin meliputi kemoterapi, radioterapi, imunoterapi, dan terapi target. Terapi target misalnya dengan brentuximab vedotin menargetkan protein pada sel kanker yang mengendalikan pertumbuhan sel kanker, tanpa memengaruhi sel normal. Bersyukur, pengobatan dengan brentuximab telah ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Kembali ke cerita Ias. Hidup dengan limfoma selama +8 tahun tentu bukan hal yang mudah. “Tantangan terberat yang saya alami adalah panjangnya proses pengobatan,” ujarnya. Namun hal ini tidak meredupkan semangat hidupnya.
Sejak 2019, ia mulai lebih rajin membuat konten di Instagram untuk membagikan pengalamannya sebagai penyintas kanker. “Kalaupun aku gak bertahan, setidaknya aku pengen meninggalkan legacy yg bisa berguna bagi orang lain.” Begitu ia menulis pada salah satu postingan di akun Instagramnya (@iaszz).
September 2023, Ias sempat mengalami remisi. Namun sayang, remisi tidak berlangsung lama. Januari 2024, penyakitnya relaps; kembali terdeteksi sel kanker aktif. “Hingga saat ini remisi belum tercapai, dan sel kanker masih aktif berdasarkan PET-CT Scan yang baru saja dilakukan 5 September 2024 kemarin,” ujarnya.
Perjalanan Ias yang penuh naik-turun, turut menjadi inspirasi bagi para pejuang dan penyintas kanker limfoma. Tak bisa dipungkiri, vonis kanker kerap meruntuhkan mental dan emosi.
Menurut data, 67% pasien limfoma merasakan beban emosional. Ketakutan, depresi, dan rasa terisolasi kerap menyerbu kala diagnosis kanker ditegakkan. Dunia serasa runtuh, karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. ”Inilah yang perlu diedukasi lagi. Tidak hanya untuk para penyintas dan keluarga, tetapi juga masyarakat luas. Dengan begitu, ketika mengalami beban emosional ini, mereka dapat berbagi dengan orang sekitarnya," ungkap Head of Patient Value Access PT Takeda Indonesia Shinta Carolina.
Ia pun menegaskan komitmen Takeda dalam mendukung penanganan limfoma Hodgkin di Indonesia, dengan menyediakan obat-obatan yang inovatif serta upaya kolaboratif bersama semua pihak. Terlebih, gejala limfoma Hodgkin tidak khas, sehingga kesadaran masyarakat untuk mengenali penyakit tersebut perlu terus dibangun. “Kami percaya bahwa melalui kolaborasi yang kuat, kita dapat menciptakan dampak positif yang nyata bagi pasien Limfoma Hodgkin di Indonesia,” pungkasnya. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by stefamerpik on Freepik