Pada pertemuan ilmiah di Barcelona, ahli menganalisa peranan diet keto (ketogenik) yang sangat rendah kalori. Analisa tersebut terkait dengan kegemukan, obesitas dan sindrom polikistik ovarium (PCOS).
Sindrom polikistik ovarium
Alessandra Gambineri, MD, PhD, associate professor di University of Bologna, Italia, memaparkan hubungan antara obesitas dan sindrom polikistik ovarium, yang mempengaruhi sekitar 10% wanita usia subur dengan fenotip dan karakteristik berbeda-beda.
“Karakteristik sindrom ini dipengaruhi oleh tiga faktor: kelebihan hormon androgen (hiperandrogen), disfungsi adiposa (jaringan lemak) dan resistensi insulin. Ketiga faktor ini saling berinteraksi dan diekspresikan secara berbeda untuk tiap fenotip,” ujar Gambineri, melansir Medscape.
Ia menjelaskan bila disfungsi jaringan lemak menyebabkan sindrom polikistik ovarium, terutama berhubungan dengan sekresi asam lemak bebas, sitokin (protein) pro-inflamasi dan sitokin yang dikeluarkan jaringan lemak yang memicu resistensi insulin. Juga berhubungan dengan stres oksidasi dan hormon androgen.
“Demikian pula, stres oksidatif yang menjadi ciri sindrom ini semakin banyak ditemukan pada individu obes,” terangnya. Stres oksidatif juga akan memperburuk fungsi ovulasi.
Dalam konteks ini, diet keto yang sangat rendah kalori bermanfaat melalaui beberapa cara: menurunkan berat badan, mempercepat hilangnya lemak (terutama lemak perut), mengurangi efek buruk akumulasi lemak yang bisa menyebabkan kematian/kegagalan sel beta – sel yang memroduksi insulin. Dan, memperbaiki peradangan, hiperinsulinemia juga resistensi insulin.
Dari konsep tersebut peneliti melakukan studi yang bertujuan menganalisa efek diet keto untuk sindrom polikistik ovarium pada fenotip obesitas. “Tujuannya untuk membandingkan efek diet keto yang sangat rendah kalori dan diet rendah kalori standar (hipokalori) sebagai kelompok kontrol,” Gambineri menjelaskan.
Efek yang dipelajari termasuk berat badan, resistensi insulin, siklus menstruasi, ovulasi dan hiperandrogenisme pada populasi 30 wanita gemuk dengan sindrom polikistik ovarium dan resistensi insulin.
Partisipan adalah penderita PCOS yang berusia 18-45 tahun. Secara acak dibagi menjadi dua kelompok: eksperimental (diet keto) dan kontrol (diet hipokalori).
Kelompok eksperimen mengikuti diet keto selama delapan minggu dan kemudian pindah ke fase kedua diet rendah kalori selama delapan minggu. Sedangkan mereka yang berada di kelompok kontrol (diet hipokalori) mengikuti diet rendah kalori selama 16 minggu.
Hasil penelitian
Peneliti menemukan bila penurunan indeks massa tubuh (IMT) terjadi dikedua kelompok, tetapi jumlahnya lebih besar pada kelompok diet keto. Penurunan berat badan adalah sekitar 12,4 kg (kelompok eksperimen) dan 4,7 kg (kelompok kontrol).
Perbedaan yang jelas juga tampak untuk lingkar pinggang, -8,1% di kelompok diet keto dan -2,2% di kelompok kontrol, massa lemak (-15,1% vs -8,5%) dan kadar testosteron bebas (-30,3% vs +10,6%). Hanya kelompok eksperimen yang menunjukkan perbaikan insulin.
“Poin kunci terkait hiperandrogenisme, terutama apa yang disebut sebagai testosteron bebas, hanya ada penurunan signifikan pada kelompok diet keto,” imbuh Gambineri.
“Pengurangan ini terutama terlihat di bagian pertama penelitian, pada periode diet ketogenik. Alasannya ada peningkatan signifikan konsentrasi hormon SHB6 (globulin pengikat hormon seks). Globulin tersebut mengikat testosteron di darah, menghasilkan penurunan testosteron bebas, efek yang sangat penting mengingat sindrom ini adalah gangguan androgenik. Selain itu, terapi PCOS saat ini tidak mengurangi testosteron bebas sebanyak pendekatan ini.”
Di antara semua efek positif, peneliti menilai yang paling penting adalah pada ovulasi. Di awal riset, hanya 38,5% peserta di kelompok eksperimen dan 14,3% pada kelompok kontrol yang mengalami siklus ovulasi.
Setelah intervensi, 84,6% berhasil berovulasi, dibandingkan dengan 35,7% yang mencapai tujuan ini di kelompok lain.
Gambineri menegaskan bila diet keto valid untuk mengurangi massa lemak dan dengan cepat memperbaiki hiperadrogenisme dan disfungsi ovulasi pada wanita obesitas dan dengan sindrom polikistik ovarium. (jie)