Covid-19: Pemisahan Bayi dari Ibu Lebih Banyak Mudaratnya

Darurat Covid-19: Mengapa Pemisahan Bayi dari Ibu setelah Persalinan Lebih Banyak Mudaratnya

Andini Pramono, Australian National University; Hannah Dahlen, Western Sydney University; Jane Desborough, dan Julie P. Smith, Australian National University

Sejumlah negara menerapkan kebijakan wajib operasi caesar untuk melahirkan bayi dan memisahkan anak dari ibunya setelah persalinan di rumah sakit guna mencegah penularan coronavirus.

Padahal, Organisasasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak mengubah rekomendasi untuk tetap melakukan inisiasi menyusu dini segera setelah lahir dan merawat ibu dan bayi secara bersama (rawat gabung dalam satu ruangan) setelah persalinan pada masa pandemi ini.

Rekomendasi WHO cukup jelas bahwa menyusui harus tetap didukung demi manfaat kesehatan ibu dan bayi, termasuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi.

Persalinan dengan operasi caesar menjadi prosedur baru untuk perempuan hamil di beberapa negara seperti Spanyol, Kroasia, dan Indonesia.

Strategi persalinan caesar yang bisa dijadwalkan dibandingkan persalinan alami yang tidak dapat diduga durasi dan waktunya mungkin membantu layanan kesehatan mengatur beban dan sumber daya akibat kasus COVID-19.

Namun yang jarang dilihat adalah apa saja konsekuensinya, dan bagaimana strategi ini dibandingkan dengan rekomendasi global yang berdasar bukti ilmiah untuk layanan persalinan selama pandemi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan peringatan akan dampak negatif terhadap hak asasi termasuk kepada perempuan selama pandemi COVID-19 ini. Pemisahan bayi dan ibu setelah melahirkan hanya merupakan salah satunya.

Riset terbaru dari John Hopkins University dan Western Sydney University menekankan dampak kumulatif dari pemisahan ibu dan bayi sangat perlu dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan di masa pandemi ini.

Meski berdasarkan niat baik, kebijakan pemisahan ibu dan bayi ini membawa lebih banyak risiko daripada manfaat.

Perubahan praktik layanan persalinan

Pada awal masa pandemi, sebuah rumah sakit swasta di Sydney Australia sempat menerapkan kebijakan memisahkan ibu dan bayi setelah melahirkan, meski kemudian kebijakan tersebut dicabut.

Pada April, Rumah Sakit Universitas Gold Coast berhasil melakukan persalinan normal tanpa komplikasi pada orang tua positif COVID-19 tanpa diikuti pemisahan ibu dan bayi.

Kebijakan pemisahan bayi dan ibu setelah melahirkan terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Cina, dan Indonesia.

Bahkan di Indonesia, proses kelahiran secara caesar diwajibkan untuk semua perempuan yang akan melahirkan, seperti dinyatakan oleh Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). Meski demikian, pernyataan ini masih menjadi perdebatan di kalangan anggota profesi POGI.

Kebijakan serupa terjadi di Spanyol dan Kroasia. Di sana tindakan operatif per vaginam (dengan forcep atau vacuum), induksi dan operasi caesar dilakukan pada ibu melahirkan tanpa melihat status COVID-nya dan tanpa memberikan pilihan.

Menghemat sumber daya rumah sakit?

Proses persalinan alami tidak dapat diduga dan merencanakannya dapat ‘menghemat’ sumber daya rumah sakit.

Kini tidak mudah memasukkan prosedur proses persalinan baik alami maupun caesar dalam prosedur rumah sakit, terutama dalam masa krisis COVID-19 ini, karena sumber daya serba terbatas.

Banyak laporan mengenai bidan dan perawat dipindah tugasnya dari mengobservasi persalinan (yang seringkali tidak terduga dari waktu dan durasinya) ke area pelayanan lain. Kebijakan ini sepertinya menguntungkan pengelolaan rumah sakit, namun tidak bagi keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.

Banyak rumah sakit di berbagai negara mengalami keterbatasan sumber daya dalam menghadapi pandemic COVID-19. Mereka menerapkan protokol pencegahan dan pengontrolan infeksi.

Rumah sakit, misalnya, menerapkan kebijakan yang melarang suami atau orang terdekat lainnya untuk mendampingi ibu selama proses persalinan, dan memisahkan ibu dan bayi setelah lahir. Beberapa rumah sakit bahkan melarang menyusui segera setelah melahirkan.

Untuk mengurangi penyebaran COVID-19, rumah sakit meniadakan beberapa layanan non-esensial, seperti kunjungan kehamilan yang tidak urgent, kelas antenatal, dan sebagainya.

Beberapa RS di negara maju, seperti di Australia dan Amerika, menggantinya dengan kelas edukasi atau kunjungan antenatal secara online.

Hal serupa sulit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia yang belum memiliki sistem telehealth yang mumpuni. Belum lagi tidak semua warganya memiliki akses internet dan juga literasi kesehatan yang baik.

Kecemasan di rumah sakit

Sebenarnya normal jika perempuan hamil mengalami kecemasan, terutama pada kehamilan pertama. Namun dalam kondisi pandemi ini, kecemasan meningkat berkali lipat. Berita mengenai tenaga kesehatan yang terinfeksi virus ini menyebabkan perempuan hamil merasa cemas akan terinfeksi saat mereka melahirkan di rumah sakit.

Perubahan ini menimbulkan kontroversi dan menyebabkan kecemasan pada ibu yang akan bersalin, sehingga banyak ibu yang akan bersalin memilih untuk melakukan persalinan di rumah.

Pengurangan layanan pemeriksaan kehamilan dan layanan kebidanan berbasis masyarakat (seperti dilaporkan di Inggris), atau meningkatnya permintaan persalinan di rumah di Australia meningkatkan risiko munculnya kasus perempuan bersalin tanpa didampingi tenaga persalinan yang terampil.

Organisasi profesional medis, termasuk Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists (RANZCOG) dan Australian College of Midwives (ACM) telah meminta pemerintah memberikan potongan biaya persalinan untuk layanan persalinan di rumah. Jika tidak ada potongan biaya, dikhawatirkan para ibu akan memilih melahirkan di rumah tanpa bantuan tenaga medis karena mereka keberatan membayar biaya persalinan di rumah yang tidak ditanggung oleh lembaga asuransi pemerintah Medicare.

Hingga saat ini, data mengenai konsekuensi perubahan kebijakan ini masih sedikit. Namun bukti ilmiah menunjukkan bahwa kebijakan pemisahan ibu dan bayi setelah persalinan ini berbahaya untuk ibu dan bayi, dan berbeda dari rekomendasi internasional.

Kontak kulit, rawat gabung dan menyusui tetap rekomendasi terbaik bagi ibu dan bayi

Mencegah inisiasi menyusu dini (IMD) justru berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi baru lahir, produksi air susu ibu dan meningkatkan stres pada ibu.

Meski telah tersedia panduan global, beberapa organisasi kesehatan negara juga mengeluarkan rekomendasi berdasarkan data dan situasi di masing-masing negara.

Sistem Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, contohnya, tetap merekomendasikan kontak kulit dan inisiasi menyusu dini segera setelah melahirkan.

Sedangkan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat dan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Cina tidak secara tegas mengatur hal ini namun merekomendasikan untuk mempertimbangkan pemisahan sementara bayi yang dilahirkan dari ibu yang dicurigai atau telah terkonfirmasi positif COVID-19.

Beberapa organisasi profesi kesehatan juga mengeluarkan panduan layanan maternitas selama pandemi ini. Royal College of Obstetricians and Gynecologists Inggris merekomendasikan tetap melakukan kontak kulit dan IMD dengan melakukan protokol keamanan standar untuk COVID-19.

Senada dengan CDC Amerika, meski tetap merekomendasikan menyusui, American Academy of Pediatric merekomendasikan pemisahan sementara ibu dan bayi pasca persalinan. Tapi lembaga ini mengakui adanya perbedaan pendapat di antara tenaga kesehatan professional terkait hal ini.

Sementara itu di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan tidak dilakukan IMD atau kontak kulit pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang dicurigai atau telah terkonfirmasi positif COVID-19.

Sebuah artikel dari Melissa Bartick, dokter penyakit dalam dari Mount Auburn Hospital yang mendalami bidang laktasi, dan Alison Stuebe, ahli dalam bidang pemberian makan bayi dan anak dari University of North Carolina menjelaskan] bahwa pemisahan mungkin memperlambat penularan virus corona, namun tidak mencegahnya.

“First do no harm”

Pertanyaan penting yang patut didiskusikan adalah dampak yang ditimbulkan kebijakan ini terhadap kualitas layanan maternitas. Alison Stuebe mencatat bahwa kebijakan pemisahan ibu dan bayi setelah persalinan ini menambah beban rumah sakit untuk menyediakan sumber daya manusia, alat perlindungan diri dan kamar dua kali lipat.

Yang mengherankan adalah mengapa saat menyusun kebijakan ini pembuat kebijakan sebelumnya tidak mengidentifikasi masalah potensial ini. Persalinan merupakan alasan utama rawat inap akut di Australia.

Layanan maternitas (tak hanya persalinan tapi juga pemeriksaan kehamilan, layanan setelah persalinan, hingga layanan di rumah hingga 6 pekan setelah persalinan) tidak terlalu sulit untuk diprediksi dan direncanakan, sehingga tidak seharusnya pandemi ini merusak standar kualitas layanan secara parah.

Pemisahan bayi dan ibu pasca bersalin, saat kondisi ibu dan bayi sama-sama stabil, meski hanya sementara, merupakan strategi yang membawa risiko lebih besar daripada manfaat. Strategi ini perlu dipertimbangkan ulang untuk mencapai kesehatan ibu dan anak yang optimal selama dan setelah masa pandemi COVID-19.

The Conversation

Andini Pramono, PhD Candidate in Health Services Research and Policy Department, Research School of Population Health, Australian National University; Hannah Dahlen, Professor of Midwifery, Associate Dean Research and HDR, Midwifery Discipline Leader, Western Sydney University; Jane Desborough, Registered Nurse, Registered Midwife, MPH, PhD, dan Julie P. Smith, Honorary Associate Professor, Australian National University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

___________________________________________

Ilustrasi: Baby photo created by freepik - www.freepik.com