Sel paru yang terkena asap rokok bisa berubah jadi kanker. Sesungguhnya ini tidak masalah bila mekanisme pertahanan tubuh dan respon imunitas kita sangat baik. “Kita analogikan bila satpam dan polisinya giat, sel kanker dihantam sehingga paru-paru bisa normal kembali. Itu keajaiban system imun kita,” ujar dr. Sita Laksmi Andarini, Ph.D, Sp.P (K) dari RSUP Persahabatan, Jakarta.
Namun mengapa sel kanker masih saja bisa tumbuh dan berkembang padahal kita punya system imun? “Bisa jadi, system imunnya buta; tidak bisa membedakan mana sel kanker dan mana sel normal,” terang dr. Sita. Sel imun jadi bergeming atau diam karena dikelabuhi oleh sel kanker. “Sel kanker itu pintar sekali. Bisa membuat zat-zat yang melemahkan respon imun, bisa berubah-ubah (antigenic switching), atau memberikan feedback negatif ke sel imun,” imbuhnya.
Sel kanker mengeluarkan antigen, yang akan ditangkap oleh sel dendritik atau “satpam”, lalu dilaporkan ke “pos polisi” di kelenjar getah bening. Selanjutnya, sel T limfosit atau “polisi” akan menghantam kanker tersebut secara spesifik. Disebut immune tolerance bila satpam dan polisi tidak bisa membedakan mana yang penghuni komplek, mana yang maling. “Bisa juga sel T sudah teraktivasi, tapi lalu ditahan oleh sel tumor; istilahnya, si maling memberi sogokan,” ujarnya.
Aktivasi sel T diatur oleh beberapa check point untuk mencegah terjadinya autoimunitas, misalnya dengan PD-1. Bila sel kanker memiliki PD-L1, maka akan berikatan dengan PD-1 milik sel T. Terjadilah immune check point. “Kalau ada ini, maka sel T yang tadinya sudah teraktivasi, begitu ketemu kanker menjadi diam, toleran,” tandas dr. Sita.
Untuk itu, immune check point diblok menggunakan imunoterapi, dengan obatnya disebut anti PD-1. “PD-1 sel T diblok sehingga tidak bisa berikatan dengan PD-L1 sel kanker. Dengan demikian sel T kembali aktif; “rem”-nya kita lepas. Toleransinya dihapus. Itulah kunci dari imunoterapi,” papar dr. Sita.
Tidak semua kanker memiliki PD-L1. Sebelum obat anti PD-L1 bisa diberikan, sebelumnya harus dilakukan dulu pemeriksaan ekspresi PD-L1. Bila ada PD-L1 di atas 1%, maka bisa obat bisa diberikan. Namun bila tidak ada ekspresi PD-L1 yang berarti PD-L1 nol, maka obat ini tidak bisa digunakan. “Bila ekspresi PD-L1 negatif, mau dikasi imunoterapi berapa kali pun, kelihatannya tidak memberikan hasil. Jadi memang harus disertai dengan pemeriksaan ekspresi PD-L1,” tegasnya.
(Baca juga: Pemeriksaan PD-L1 untuk Kanker Paru)
Menurut data yang dipublikasi di jurnal ilmiah internasional The Lancet, bila sel kankernya memiliki PD-L1 tinggi, berarti sel tumornya meradangResponnya terhadap imunoterapi bagus. Syaratnya, harus ada ekspresi PD-L1 pada tumor.
Pada studi, pembrolizumab diberikan pada pasien kanker paru stadium 4 yang sudah mendapat kemoterapi sebagai pengobatan lini pertama tapi tidak mempan. Hasilnya, angka tahan hidup (survival rate) pasien naik. Dengan kemoterapi, rerata angka tahan hidup pasien 8,5 bulan. Sedangkan dengan imunoterapi 10 – 12 bulan. Imunoterapi memberi keuntungan angka tahan hidup pada pasien yang memiliki biomarker ekspresi PD-L1 dibandingkan kemo. “Ini merupakan hal baru untuk tatalaksana kanker paru. Kualitas hidup pasien pun lebih baik dengan pemberian imunoterapi dibandingkan dengan kemoterapi,” lanjut dr. Sita.
Pembrolizumab diberikan dengan cara infus, satu kali tiap tiga minggu. Berdasarkan penelitian, yang disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration Amerika Serikat) dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sebagai pengobatan tunggal, tidak dikombinasi dengan kemoterapi. (nid)