Sebagian besar penderita lupus dan rheumatoid arthritis ternyata tidak berisiko tinggi mengalami infeksi COVID-19 berat dan harus dirawat di rumah sakit. Penelitian terbaru ini membawa ‘angin segar’ untuk penderita penyakit autoimun tersebut.
Baik lupus dan rheumatoid arthritis (radang sendi) keduanya disebabkan oleh penyakit autoimun, di mana kekebalan tubuh berbalik menyerang diri sendiri. Pada lupus sistem imun bisa menyerang sendi, kulit, ginjal dan organ penting lainnya.
Riset terbaru tersebut diterbitkan di jurnal Arthritis & Rheumatology, dipimpin oleh para peneliti dari Grossman School of Medicine, New York University.
Peneliti juga menemukan bahwa pasien rheumatoid arthritis yang menggunakan obat steroid, bukan terapi target (dikenal dengan obat biologis), berisiko lebih tinggi untuk memerlukan perawatan di rumah sakit akibat COVID-19.
Tetapi peneliti mengatakan bila penemuan tersebut secara keseluruhan merupakan berita positif untuk penderita lupus dan rheumatoid arthritis, yang mencemaskan bila perawatan mereka membuatnya lebih rentan terhadap COVID-19.
Dalam riset pertama, peneliti mengamati kondisi kesehatan 226 penderita lupus ringan - berat; sebagian besar adalah wanita, berkulit hitam dan hispanik.
Kelompok tersebut disurvei atau diperiksa riwayat medisnya antara April dan Juni 2020, saat New York sedang di puncak kasus COVID-19. Dua puluh empat dirawat di rumah sakit dari 83 yang telah dikonfirmasi COVID-19, dan empat orang meninggal.
Peneliti mendapati pasien lupus yang mengonsumsi obat penekan imunitas, seperti mycophenolate mofetil (CellCept) dan azathioprine (Imuran), tidak berisiko lebih besar dirawat di rumah sakit, dibanding mereka yang tidak mengonsumsi obat tersebut.
Untuk riset kedua, peneliti mengamati 103 penderita radang sendi (karena rheumatoid arthritis, psoriasis dan spondyloarthritis); sebagian besar wanita kulit putih. Semuanya dinyatakan baik masih dicurigai atau positif COVID-19.
Dua puluh tujuh (26%) dirawat di rumah sakit, dengan empat kasus kematian (4%). Ini sebanding dengan tingkat yang terlihat untuk semua warga New York sebesar 25%.
Dilansir dari Science Alert, salah satu peneliti dr. Ruth Fernandez-Ruiz, mengatakan bahwa di awal penelitian mereka khawatir bila pengobatan yang diterima pasien, demikian juga kerusakan organ akibat kondisi mereka, akan memperburuk hasil.
“Penderita lupus atau radang sendi (rheumatoid arthritis) memiliki risiko yang sama untuk menjadi sakit parah akibat COVID-19 sama seperti mereka yang tanpa penyakit tersebut,” katanya.
Efek steroid
Penderita radang sendi (rheumatoid arthritis) yang menggunakan obat-obatan biologis seperti adalimumab (Humira) dan etanercept (Enbrel), tidak memiliki risiko rawat inap yang lebih tinggi atau rendah.
Hal yang sama berlaku pada mereka yang mendapatkan hydroxychloroquine, obat lain yang diperuntukkan pada penyakit autoimun.
Hydroxychloroquine secara terpisah sedang diteliti untuk pengobatan COVID-19, dan fakta bahwa itu tidak meningkatkan atau mengurangi risiko rawat inap akibat COVID-19 lebih membuktikan bahwa itu tidak berfungsi untuk tujuan ini.
Yang mengkhawatirkan, pasien arthritis yang mengonsumsi glukokortikoid – sejenis steroid – bahkan dalam dosis ringan, berisiko 10 kali lebih besar untuk dirawata di rumah sakit, daripada mereka yang tidak menggunakannya.
Steroid bekerja dengan menekan sistem kekebalan yang lebih luas, sementara obat biologis lebih selektif, ia menargetkan protein spesifik yang terkait dengan peradangan.
Peneliti menyadari tidak mungkin mengalihkan semua pasien yang menggunakan steroid ke obat lain. Namun, mereka mengingatkan walau ukuran sampel studi ini kecil, tetapi risikonya perlu dipertimbangkan. (jie)