Fakta terbaru menyatakan satu dari tiga orang dewasa di Indonesia obesitas. Ini gawat. Obesitas bukan sebatas kelebihan berat badan, tetapi sudah dianggap sakit (penyakit).
Data dari Kementerian Kesehatan menjabarkan bila satu dari tiga orang dewasa Indonesia obesitas, dan satu dari lima anak usia 5-12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.
Terjadi tren peningkatan angka obesitas dari tahun ke tahun. Dr. Cut Putri Arianie MH.Kes, Direktur P2PTM Kementerian Kesehatan RI, menyatakan ada peningkatan kasus obesitas hampir dua kali lipat antara tahun 2007 dengan tahun 2018, dari 19,1% menjadi 35,4%.
“Terbanyak pada perempuan, atau sekitar 44%,” katanya dalam diskusi daring Jangan Anggap Remeh Obesitas, si Penyakit Kronis Serius, dalam rangka Hari Obesitas Sedunia, pada Rabu (3/3/2021).
Bagi masyarakat Asia, seseorang dikategorikan menderita obesitas jika memiliki indeks massa tubuh (IMT) di atas 25. Atau jika ia memiliki perut buncit, disebut obesitas sentral. Laki-laki dengan lingkar pinggang/perut >90 cm termasuk sebagai obesitas sentral, sementara untuk perempuan bila >80 cm.
Kenapa obesitas dianggap berbahaya? “Karena sudah terjadi inflamasi (peradangan) yang meningkat dan ada risiko penyakit lain,” terang Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD-KEMD, Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), dalam kesempatan yang sama. “Lemak di perut lebih berbahaya, dibanding lemak di bawah kulit.”
Penyakit-penyakit yang berhubungan erat dengan obesitas antara lain diabetes, hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung dan stroke. Penumpukan lemak di organ-organ lain juga bisa menyebabkan perlemakan hati, infertilitas dan peningkatan risiko kanker saluran cerna.
Depresi, kurang percaya diri, sulit mencari pekerjaan, hingga jodoh juga dialami oleh mereka yang obesitas.
Genetik vs lingkungan
Penyebab obesitas mulitifaktor, bisa karena genetik atau faktor lingkungan (sosial, budaya, pendidikan, pola asuh, dll). Tetapi pada dasarnya disebabkan oleh ketidakseimbangan jumlah energi masuk (dari makan) dan keluar (lewat aktivitas fisik).
Genetik menyubang risiko sekitar 40% seorang anak menjadi obesitas, jika salah satu orangtuanya gemuk. Risiko naik hingga 80% bila kedua orangtua gemuk. “Tetapi sekarang lebih banyak faktor lingkungan daripada genetik,” terang Prof. Ketut Suastika.
Yang banyak terjadi adalah anak-anak akan mencontoh perilaku orangtuanya (malas bergerak dan banyak makan/ngemil). Anak-anak akan menganggap itu sebagai perilaku yang benar. Padahal, jika dari kecil gemuk, besar kemungkinannya untuk tetap gemuk hingga ia dewasa.
Prof. Dr. dr. Nurpudji Taslim, SpGK (K), MPH, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia (PDGKI) menjabarkan terjadi perubahan yang sangat besar pada pola makan orang Indonesia, dari makanan rumahan ke makanan cepat saji.
Dulu kita punya waktu untuk masak, terang Prof. Nurpudji, tetapi sekarang masyarakat lebih senang memesan makanan siap saji, “yang menyiapkan makanan dengan tinggi gula, garam, lemak.”
Berkelindan dengan adanya perubahan kegiatan masyarakat. Saat ini hampir semua kegiatan/kerja, belajar, dilakukan dari rumah. Aktivitas dilakukan sambil duduk, aktivitas fisik sangat kurang. Ini berarti banyak energi yang masuk tetapi sedikit yang keluar.
“Perubahan yang sangat cepat ini yang menyebabkan kenaikan sangat tinggi obes, terutama anak, remaja dan tenanga kerja >30 tahun. Riset di AS obesitas banyak terjadi di usia >30 tahun,” kata Prof. Nurpudji.
Diet yang benar
Diet (mengatur porsi makan) dan olahraga rutin adalah cara pertama untuk mencegah obesitas. Tidak ada diet khusus yang disarankan untuk orang obesitas, yang terpenting adalah ‘memotong’ jumlah kalori dan meningkatkan pembakaran energi.
“Makan malam terakhir selesai sebelum jam 6 malam, kalau lapar lagi cukup makan buah,” tukas Prof. Nurpudji. “Hindari lemak jenuh ganti dengan lemak sehat. Perbanyak sayur dan buah sebagai sumber antioksidan. Ini sangat membantu karena pada orang obes banyak oksidan yang terbentuk.”
Makanan dikonsumsi sesuai kebutuhan, aktivitas fisik (makan lebih sedikit jika tidak banyak aktivitas fisik), dan umur.
Sementara itu anjuran penurunan berat badan adalah yang tidak terjadi secara drastis. “Sebaliknya disarankan turun secara perlahan, gradual, dalam beberapa bulan hingga satu tahun,” imbuh Prof. Ketut Suastika.
“Kalau bisa menurunkan 5-10% dari berat badan terakhir, maka sudah mengurangi risiko penyakit-penyakit lain hingga 30%. Disfungsi endotel (gangguan pembuluh darah) juga bisa dicegah.”
Perlu diingat, berat badan berlebih sudah meningkatkan faktor risiko penyakit. Jangan tunggu sampai obesitas, karena obesitas adalah penyakit. (jie)
Baca juga : Operasi Potong Lambung Untuk Obesitas Ekstrim : Ini Adalah Upaya Penyelamatan Nyawa