Membayangkan diserang hiu, singa atau beruang, kita bergidik ngeri. Namun faktanya, binatang yang paling mematikan bukanlah hewan-hewan buas tersebut, melainkan binatang yang sangat kecil dan “akrab” dengan kita sehari-hari: nyamuk. Kematian akibat gigitan hiu “hanya” 17.000/tahun; bandingkan dengan 700.000 – 1 juta kematian/tahun akibat gigitan nyamuk. “Jumlah penyakit yang ditularkan melalui nyamuk mencapai 17% dari seluruh penyakit menular,” ujar DR. dr. Leonard Nainggolan Sp.PD-KPTI, Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi dari Perhimpunan Peneliti Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia (PETRI) dalam diskusi di Jakarta (09/10/2017). Bukan nyamuk secara langsung yang menyebabkan kematian, melainkan kuman atau virus yang dibawanya.
Malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan filariasis adalah tiga penyakit terbanyak yang ditularkan nyamuk. Nyamuk yang menuloarkan ketiga penyakit ini berbeda. Malaria ditularkan oleh Anopheles; DBD oleh Aedes terutama Aedes aegypti yang juga menyebabkan yellow fever, zika, dan chikungunya; dan filariasis (kaki gajah) ditularkan oleh Culex, yang biasa kita sebut nyamuk rumah atau nyamuk kebon. Culex juga bisa menularkan ensefalitis (radang otak).
Hanya nyamuk betina yang menggigit; nyamuk jantan hidup dengan mengisap madu bunga. “Nyamuk betina memerlukan protein dalam darah untuk mematangkan telur-telurnya,” terang Dr. dr. Leo. Sekali bertelur, nyamuk betina bisa menghasilkan hingga 300 telur, yang diletakkannya di permukaan air. Dalam hidupnya, nyamuk betina bisa tiga kali bertelur sebelum mati. Bisa dibayangkan, betapa banyak bayi-bayi nyamuk yang dihasilkan dari seekor nyamuk betina.
Perubahan iklim ternyata menguntungkan bagi nyamuk. Mungkin Anda menyadari, nyamuk makin banyak, sampai tidur terganggu karena nyamuk bandel mengigiti sekujur tubuh dan mengiang-ngiang di telinga. Daerah tropis seperti Indonesia adalah lingkungan yang disukai nyamuk.
“Peningkatan suhu global yang menyebabkan nyamuk semakin suka kawin,” ujar Dr. dr. Leo. Maka, makin banyak telur yang dihasilkan, dan makin meningkat pula angka penularan penyakit dari vector tular nyamuk. Selain itu, nyamuk juga makin kebal (resisten) terhadap obat-obat pembasmi. Tidak mempan lagi dengan insektisida seperti DTT dan organofosat. “Nyamuk adalah hewan kecil yang paling cepat beradaptasi dengan lingkungan,” imbuhnya.
Selain nyamuk jadi resisten, DTT dan organofosfat juga tidak ramah lingkungan dan bisa menimbulkan gangguan kesehatan. “Pengunaan organofosfat atau karbamat dalam jangka panjang bisa menyebabkan nyeri kepala kronis dan kelelahan kronis,” jelas Dr. dr. Leo. Sekalipun bentuknya elektrik, sepanjang mengandung organofosfat ataupun karbamat, tidak 100% aman, “Dalam bentuk elektrik, cairan yang mengandung zat ini dipanaskan, sehingga menguap.”
Ia melanjutkan, obat yang dipakai sekarang tidak lagi untuk membunuh nyamuk, melainkan bersifat repellant atau anti nyamuk. Begitu disemprotkan, 15 menit kemudian nyamuk pingsan selama 24 jam. “Asumsinya, selama 24 jam nyamuk tidak bisa makan dan minum sehingga mati sendiri. Konsentrasi bahan yang digunakan sekarang lebih ramah lingkungan dan lebih aman,” tuturnya.
Dr. Lula Kamal yang juga hadir dalam acara tersebut menambahkan, obat nyamuk yang dijual sekarang masuk kategori U dalam ketentuan WHO. U berarti unlikely to make any hazard atau tidak menimbulkan gangguan kesehatan. “Memang yang kelas 1 dan 2 jagoan matiin nyamuk, tapi sudah banyak yang dilarang. Yang ktia pakai kelas U,” ucapnya. (nid)