Mereka yang menderita asma tak bisa dipungkiri menjadi lebih kawatir dengan wabah virus baru yang juga menyerang saluran napas ini. Lantas apa yang harus dilakukan oleh penderita asma selama pandemi COVID-19?
Infeksi saluran napas, khususnya yang menyebabkan selesma (batuk pilek biasa) bisa memicu kambuhnya asma. Di negara dengan 4 musim, selesma menjadi pemicu utama episode asma, baik pada anak-anak atau dewasa, selama musim gugur atau musim dingin.
Sehingga wajar bila penderita asma lebih khawatir di tengah wabah virus corona ini. “Tetapi kami tidak tahu pasti apakah penderita asma lebih berisiko mengalami gejala parah jika terkena COVID-19,” terang Christine Jenkins, profesor ilmu respiratori di University of Sydney dan George Institute for Global Health, Australia.
Walau begitu banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak dari infeksi virus apapun pada penderita asma.
Kontrol asma dengan baik
Asma ditandai oleh peradangan lapisan saluran udara paru-paru. Pada sebagian orang, kondisi tersebut bisa bersifat jangka panjang.
Peradangan saluran napas bertahan dari waktu ke waktu, bahkan di antara serangan akut, dan bisa berkontribusi signifikan terhadap gejala sehari-hari.
“Jika peradangan saluran napas ini tidak diobati, akan menyebabkan penyempitan progresif jalan napas. Fungsi paru normal mungkin tidak akan kembali,” kata Christine, dilansir dari sciencealert.com. “Melakukan kontrol asma dengan baik merupakan kunci untuk mengurangi risiko tersebut. Yakni menggunakan obat-obat regular, baik obat penghilang atau pencegah.”
Obat brokodilator dan pencegah gejala asma
Obat relievers (penghilang/bronkodilator) bertindak cepat untuk mengendurkan otot saluran napas dan membuka saluran udara untuk memungkinkan pernapasan normal.
Salbutamol (Ventolin atau Asmol) sejauh ini yang paling dikenal dan banyak digunakan, biasanya sebagai inhaler aerosol (obat hisap).
Obat pencegahan seperti Breo, Symbicort, Flutiform, Seretide atau Flixotide. Obat pencegahan yang paling umum digunakan mengandung kortikosteroid inhalasi (bersifat anti-inflamasi) dan bronkodilator jangka panjang, yang merupakan pengendali gejala asma.
“Orang yang diberi resep obat pencegah asma harus terus meminumnya sepanjang musim COVID-19 ini untuk memaksimalkan peluang mereka agar tetap sehat,” imbuh Christine. “Menghentikan pengobatan ini dapat meningkatkan risiko asma yang tidak terkontrol dan berisiko serangan parah atau bahkan masuk rumah sakit.”
Hidup sehat, meminimalkan risiko
Untuk mengurangi risiko serangan asma dari virus, termasuk virus corona, Anda bisa melakukan hal-hal ini :
- Minum obat pencegah setiap hari sesuai petunjuk dokter.
- Pastikan Anda tahu di mana tempat penyimpanan salbutamol dan pastikan belum kedaluarsa.
- Periksa ke dokter untuk memastikan asma Anda terkontrol baik, dan obat yang Anda konsumsi sudah sesuai.
- Pastikan Anda memiliki asthma action plan tertulis (panduan tertulis jika terjadi serangan) dan gampang dicari / diakses.
- Jika memungkinkan lakukan vaksinasi influenza.
Asthma action plan tertulis berarti Anda dapat meningkatkan pengobatan jika gejalanya memburuk. Itu memberikan panduan tentang kapan memulai pengobatan tambahan seperti prednisone (kortikosteroid anti-inflamasi) atau kapan harus menghubungi dokter.
“Rencana aksi Anda harus mencakup saran menggunakan puffer (inhaler aerosol) dan spacer selama serangan asma, tetapi bukan nebulizer,” tutur Christine. “Selama pandemi SARS pertama tahun 2003, banyak tenaga ahli dilaporkan menjadi sakit akibat paparan aerosol dalam obat bronkodilator.”
Kontrol asma yang baik memaksimalkan peluang, bila penderita asma terinfeksi virus corona, akan berdampak minimal. Namun, itu tidak sepenuhnya menghilangkan risiko serangan asma yang serius.
Jika obat asma yang biasa Anda konsumsi tidak bekerja, segera konsultasikan ke dokter. Sementara itu, tetap lakukan pencegahan COVID-19 yang disarankan, seperti menjaga jarak fisik, rajin cuci tangan dan konsumsi makanan bergizi. (jie)