Soal mendeteksi bau anjing adalah jagonya, penciuman anjing 10.000 – 100.000 kali lebih baik dibanding manuia. Hidung anjing memiliki lebih dari 300 juta reseptor bau, sementara manusia hanya 5-6 juta. Dari fakta tersebut penelitian di beberapa negara menunjukkan anjing mampu mengenali bau keringat orang yang positif COVID-19.
Begitu tajamnya penciuman anjing, menurut kepala Dog Cognition Lab di Barnard College Alexandra Horowitz, AS, sahabat terbaik manusia ini bahkan bisa mendeteksi satu sendok teh gula yang dicairkan dalam satu juta galon air (seukuran dua kolam renang Olympic).
Kemampuan anjing mendeteksi penyakit juga bukanlah hal baru. Anjing terlatih mampu mendeteksi gejala awal Parkinson, diabetes, beberapa jenis kanker dan serangan epilepsi yang akan muncul.
Penderita penyakit-penyakit tersebut mengeluarkan bau (volatile organic compounds / VOC) tertentu yang berbeda dengan orang normal. Anjing mampu mengenali bau VOC ini.
Deteksi COVID-19
Salah satu penelitan pertama dilakukan pada 198 pasien di dua rumah sakit di Paris (Perancis) dan satu rumah sakit di Beirut (Lebanon); 101 pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dan 97 lainnya negatif.
Dominique Grandjean, dokter hewan dan profesor di France’s National Venerinary School of Alfort, menggunakan asumsi yang sama bahwa bau keringat ketiak mereka yang positif COVID-19 berbeda dengan orang yang negatif.
Peneliti melatih 18 anjing - jenis Belgian Malinois dan Jack Russell terrier - untuk mengenali bau (VOC) tersebut, tetapi hanya 8 anjing yang berhasil hingga akhir penelitian. Selama pelatihan, sampel ditaruh dalam wadah, kemudian anjing-anjing itu akan mengendusnya beberapa kali.
Waktu yang dibutuhkan anjing untuk mendapatkan bau spesifik COVID-19 bervariasi antara 1- 4 jam, dengan total sampel positif yang diendus antara 4-10.
Dalam total 368 percobaan (masing-masing termasuk satu sampel positif dan beberapa sampel negatif) dilakukan selama 21 hari. Hasilnya, tingkat keberhasilan anjing terlatih untuk mendeteksi sampel positif antara 83-100%.
Tetapi peneliti mencatat, hasil ini secara signifikan berbeda tingkat keberhasilannya jika anjing tidak memilih sampel positif secara acak. Beberapa kasus terdeteksi oleh anjing sebelum positif tes PCR.
Terdapat dua kasus positif palsu yang dideteksi oleh anjing. Meneliti menilai hal tersebut berkaitan dengan adanya hormon feromon seksual, karena sampel diambil selama masa subur pasien.
Riset yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE ini memancing penelitian-penelitian lain, seperti di tujuh rumah sakit di Jerman dengan total 10.388 sampel (menggunakan 8 anjing terlatih). Studi dilakukan oleh Paula Jendrny dkk, dan dipublikasikan di jurnal BMC Infectious Disease.
Tingkat deteksi rata-rata adalah 94%, dengan sensitivitas berkisar antara 67,9% hingga 95,2%. Dengan tingkat deteksi yang tinggi ini, peneliti menyimpulkan bahwa anjing dapat dilatih dalam waktu singkat (7 hari dalam studi di Jerman ini) untuk mendeteksi pasien yang positif COVID-19. (jie)