Irwandy, Universitas Hasanuddin
Artikel ini adalah bagian dari seri “Sembilan Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia”.
Dalam sembilan bulan terakhir, lebih 17.000 orang di Indonesia telah kehilangan nyawa akibat pandemi COVID-19. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada posisi teratas penyumbang kematian akibat virus corona di Asia Tenggara.
Jumlah kematian riil di masyarakat akibat virus ini diprediksi lebih banyak. Namun tidak semua kematian berhasil dideteksi oleh sistem kesehatan, salah satunya karena terbatasnya kapasitas laboratorium tes COVID-19 di negeri ini.
Sebuah riset terbaru dari Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat dengan menggunakan data panel 91 negara, termasuk Indonesia, memperkirakan kasus total dan kematian hingga 30 Oktober 2020 diperkirakan 1,4 kali lebih besar dari laporan resmi.
Secara teori, tingginya kejadian penyakit dan kematian, termasuk dalam kondisi pandemi saat ini tidak hanya disebabkan oleh adanya virus yang menginfeksi. Tingginya angka kematian juga disebabkan oleh beberapa faktor seperti sistem pelayanan kesehatan, perilaku, lingkungan, hingga genetik.
Untuk menekan jumlah kematian yang terus meningkat, empat faktor ini harus menjadi perhatian.
Sistem pelayanan kesehatan
The Lancet pada 2018 menerbitkan peringkat 195 negara berdasarkan akses dan kualitas layanan kesehatannya.
Hasil pemeringkatan menempatkan Indonesia pada urutan ke-138. Peringkat ini jauh di bawah peringkat Singapura (urutan ke-22), Thailand ke-76 dan Malaysia ke-84.
Dengan level sistem kesehatan seperti itu, saat ini angka kematian akibat COVID-19 di Singapura “hanya” 29 orang (dari sekitar 58 ribu kasus terkonformasi). Thailand 60 orang (dari sekitar 4 ribu kasus) dan Malaysia 363 orang (dari 68 ribu kasus).
Bandingkan angka kasus serupa dengan Indonesia. Pada akhir November saja, angka kematian naik 35,6% atau dari 626 menjadi 835 kematian dalam satu minggu.
Masih rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ini berpengaruh pada tingginya angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia. Beberapa hasil studi di berbagai negara menemukan pengaruh ini. Indikator seperti efisiensi pelayanan kesehatan, rasio jumlah tenaga kesehatan dengan penduduk, rasio tempat tidur rumah sakit hingga akses masyarakat terhadap rumah sakit memiliki pengaruh terhadap tingginya angka kematian akibat COVID-19.
Studi terbaru dari University of Canberra di 86 negara, termasuk Indonesia, juga menemukan bahwa negara-negara yang memiliki kapasitas pelayanan kesehatan yang baik memiliki angka kematian yang lebih rendah. Setiap kenaikan satu digit indeks kapasitas pelayanan kesehatan dapat menurunkan 42% kasus kematian.
Beberapa riset di atas telah memperlihatkan bahwa kualitas dan akses layanan kesehatan dapat menekan angka kematian. Namun, penting dipahami bahwa jika jumlah kasus terus bertambah dan terlalu membebani sistem kesehatan maka kualitas dan akses layanan kesehatan dalam menekan angka kematian tidak akan berarti.
Sebuah penelitian dari National Taiwan University memperlihatkan hubungan antara tingginya kualitas dan akses layanan kesehatan dengan rendahnya angka kematian akibat COVID-19 pada negara-negara yang memiliki rasio 100 kasus per 1 juta orang. Namun pada negara-negara yang mencapai angka lebih dari 500 kasus per 1 juta orang, hubungan ini menjadi tidak bermakna karena layanan kesehatan telah kelebihan beban.
Selain kecukupan, akses dan mutu layanan kesehatan, dalam konteks pandemi COVID-19 yang juga harus menjadi perhatian adalah kemampuan sistem kesehatan melacak dan mengetes orang-orang yang diduga kontak dengan pasien positif.
Dalam konteks menekan angka kematian, pelacakan dan pengetesan menjadi penting agar individu yang terinfeksi dapat segera ditemukan sebelum kesehatannya lebih memburuk. Di Indonesia hingga Oktober, kinerja tes baru mencapai 70 persen dari standar WHO.
Penelitian dari Koç University Turki pada 34 negara OECD (berpenghasilan tinggi) berkesimpulan bahwa di negara-negara yang memiliki kemampuan testing baik, angka kematiannya lebih rendah.
Perilaku Masyarakat
Tingginya kematian akibat COVID-19 di Indonesia juga tak terlepas dari perilaku masyarakat yang masih kurang patuh menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak).
Riset terbaru Kementerian Kesehatan mengenai perilaku masyarakat Indonesia selama pandemi menemukan baru sekitar 42% masyarakat yang mencuci tangan dengan baik dan benar. Hanya 54% responden yang selalu menjaga jarak fisik di tempat-tempat umum.
Padahal, perilaku memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M), menurut studi di 190 negara pada 23 Januari-13 April 2020, dapat menekan angka penularan di masyarakat dan efektivitasnya meningkat jika dilakukan seluruhnya bersamaan.
Panjangnya durasi pandemi ini juga telah membuat sebagian masyarakat mulai lelah dan kendor dalam menerapkan protokol kesehatan.
Riset menunjukkan kelelahan akan kepatuhan ini telah meningkatkan kasus sebesar 61% hingga Oktober 2020. Penelitian ini memproyeksikan dengan intervensi sederhana seperti memakai masker dan menjaga jarak, dapat menekan kasus hingga 18% hingga Maret 2021.
Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat juga meningkatkan risiko kematian. Jumlah angka perokok aktif di Indonesia masih sangat besar yakni 33,8% pada 2018. Cukup banyak bukti yang menunjukkan merokok dapat menyebabkan penyakit tidak menular yang dapat menjadi faktor pemberat orang yang terinfeksi virus corona.
Sebuah penelitian menemukan bahwa risiko kematian COVID-19 tinggi pada populasi yang merokok.
Lingkungan
Lingkungan juga berpengaruh pada tingginya angka kematian. Lingkungan dalam konteks ini tidak hanya lingkungan fisik namun juga lingkungan sosial hingga kebijakan.
Pada lingkungan fisik, studi di Italia menemukan bahwa konsentrasi polutan udara, kelembapan dan temperatur pada berbagai daerah di Italia telah mempengaruhi tingginya angka kematian akibat COVID-19.
Lingkungan sosial seperti kepadatan, struktur umur penduduk, dan perilaku mobilitas yang tinggi juga berkontribusi terhadap peningkatan kematian.
Ketepatan dan kecepatan pengambilan kebijakan juga berpengaruh terhadap angka kematian. Studi pada 121 negara memperlihatkan bahwa keterlambatan pengambilan keputusan pembatasan di sebuah negara meningkatkan risiko kematian (10% keterlambatan meningkatkan 3,7% angka kematian). Respons Indonesia pada awal-awal pandemi begitu lambat.
Genetik (umur dan penyakit penyerta)
Hingga 1 Desember, kematian di Indonesia tertinggi ditemukan pada populasi umur di atas 60 tahun (37,2%).
Adanya penyakit penyerta menyebabkan risiko kematian semakin besar. Di Indonesia hingga 1 Desember ditemukan bahwa lima besar penyakit penyerta tertinggi pada kasus kematian adalah hipertensi (11,7%), diabetes melitus (10,3%), penyakit jantung (6.8%), penyakit ginjal (3%) dan penyakit paru kronis (2,3%).
Artikel di Nature juga menemukan negara-negara yang memiliki angka kasus penyakit seperti kardiovaskuler, kanker dan penyakit pernafasan kronik yang tinggi, akan memiliki angka kematian lebih tinggi.
Perlu pendekatan holistik
Di tengah rencana vaksinasi massal yang belum jelas benar waktunya, satunya-satunya jalan kini yang tersedia untuk menekan kematian akibat COVID-19 di Indonesia adalah pemerintah harus segera merespons masalah ini dengan pendekatan yang lebih holistik.
Apalagi potensi penyebaran virus corona akan terjadi besar-besaran pada bulan ini karena akan ada kerumuman massal dalam pemilihan kepala daerah 9 Desember di ratusan daerah dan liburan panjang akhir tahun dan tahun baru.
Pemerintah harus memperkuat sistem layanan kesehatan, mendorong perilaku hidup bersih dan sehat serta penggunaan masker, cuci tangan dan menjaga jarak. Pemerintah harus memperbaiki kualitas lingkungan, dan melindungi populasi berisiko.
Pemerintah daerah juga harus meningkatkan kemampuan pelacakan dan pengetesan, serta mengambil keputusan yang cepat dan tepat disertai komitmen yang kuat untuk mengendalikan virus.
Jika para pemerintah dan masyarakat di suatu daerah belum siap melaksanakan berbagai strategi tersebut secara holistik, mungkin saatnya rem darurat kembali ditarik, seperti di beberapa negara yang kembali menarik rem daruratnya dengan lockdown akibat jumlah kasus dan kematian yang mulai meningkat.
Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
_____________________________________________________
Foto: Hanida Syafriani