Gelombang tiga COVID-19 belum berlalu. Kasus konfirmasi positif sempat naik lagi pada Rabu (23/2/2022) menjadi 61.488, setelah sebelumnya sempat turun menjadi 34.418 pada 21 Februari lalu, dan 48.484 pada 20 Februari. Varian Omicron ditengarai mendominasi pada gelombang ketiga ini. Di media sosial, banyak yang mengungkapkan perbedaan antara Omicron dan Delta, tapi bagaimana menurut dokter?
Secara umum, gejala COVID-19 sebenarnya sulit dibedakan dengan common cold atau selesma, yaitu gangguan pada saluran napas. Untuk COVID-19 sendiri, secara garis besar gejalanya dibedakan menjadi tiga. Yaitu non-severe (asimtomatik/tanpa gejala atau gejala ringan), severe (berat), dan critical (kritis).
Menurut dr. Ronald Irwanto, Sp.PD-KPTI, FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Tropik & Infeksi RS Pondok Indah - Puri Indah dan RS Pondok Indah - Bintaro Jaya, gejala COVID-19 antara varian Alfa, Delta, Omicron dan lain-lain, sangat sulit dibedakan. “Namun secara subjektif, saya menilai keluhan yang ditimbulkan Omicron berbeda dengan Delta,” ungkapnya.
Berikut ini beberapa perbedaan antara Omicron dan Delta yang diungkapkan oleh dr. Ronald, dalam webinar media, Selasa (22/2/2022).
3 Perbedaan antara Omicron dan Delta
COVID-19 varian Omicron dan Delta adalah dua VOC (Variant of Concern) yang saat ini melanda secara global. Gejalanya memang serupa, tapi ada beberapa karakteristik yang sedikit berbeda di antara keduanya. Yuk simak pemaparannya berikut ini.
1. Gejala Omicron cenderung lebih ringan
“Sebagian besar kasus Omicron lebih banyak yang non-severe atau kondisinya ringan sedangkan pada Delta, banyak pasien yang masuk ICU. Memang trennya sudah mulai berubah,” ungkap dr. Ronald.
Ada berbagai faktor yang berperan mengapa gejala Omicron cenderung ringan. Faktor pertama, mungkin dari sifat virusnya sendiri. “Progresivitas Omicron diduga lebih rendah. Kedua, sudah lebih banyak orang yang divaksin dibandingkan saat Delta dulu,” tambahnya.
2. Omicron lebih cepat meluas
Gejala yang ditimbulkan Omicron bisa jadi lebih ringan, tapi bukan rahasia lagi, varian ini lebih cepat meluas daripada varian Delta. Padahal, Delta saja sudah lebih cepat menyebar dibandingkan varian-varian sebelumnya.
Baik varian Delta maupun Omicron sama-sama mengalami mutasi (perubahan) pada spike protein atau protein paku, tempat melekatnya virus ke sel tubuh dan memicu infeksi. Perubahan pada spike protein inilah yang diduga membuat Omicron dan Delta lebih menular. Sebuah penelitian menyebutkan, spike protein Omicron memiliki kemampuan yang jauh lebih baik untuk membantunya masuk ke sel tubuh dibandingkan varian Delta maupun virus korona asal. Disebutkan, Omicron 4x lebih menular dibandingkan tipe original, dan 2x lebih menular dibandingkan Delta.
3. Gen S tidak terdeteksi PCR
Perubahan pada spike protein juga membuat gen S Omicron tidak terdeteksi PCR. “Perubahan asam amino pada spike protein Omicron sangat besar dan luas, hingga membuat gen Snya sulit dideteksi. Inilah khasnya Omicron,” terang dr. Ronald.
Bukan berarti Omicron jadi tidak terdeteksi oleh PCR, seperti kabar burung yang sempat beredar beberapa waktu lalu. Omicron masih bisa dideteksi oleh PCR. Sebagai informasi, tes PCR mengevaluasi gen COVID-19 tertentu, yaitu gen S, gen N, dan ORF1ab. Nah pada Omicron, terjadi penghilangan pada posisi spike 69-70, yang membuat gen S jadi sulit terdeteksi. Ini disebut juga S gene dropout atau S gene target failure (SGTF). “Bila hasil pemeriksaan menyatakan SGTF, mungkin itu adalah Omicron. Namun untuk memastikannya, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan whole genom sequencing (WGS)," ujar dr. Ronald. WGS tidak rutin dilakukan, dan hanya dilakukan untuk sampling, untuk memperkirakan berapa persen kasus Omicron yang terjadi.
Fenomena SGTF juga terjadi pada varian Alfa dulu. Namun varian Alfa sudah tidak lagi menjadi VOC sehingga bila sekarang hasil PCR dinyatakan SGTF, kecurigaan mengarah ke Omicron.
Pencegahannya Sama
Apapun varian COVID-19, pencegahannya tetap sama. Yaitu protokol kesehatan (prokes) 5M: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan. “Mau apapun variannya, penularannya tetap sama yaitu melalui droplet. Pakailah masker medis untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi,” tegas dr. Ronald. Jangan lupa melengkapi vaksinasi, dan melakukan booster jika sudah mendapat jadwal.
Terkait dengan gejala Omicron yang cenderung non-severe, saat ini lebih banyak orang yang melakukan isolasi mandiri (isoman) daripada dirawat di RS. Untuk aturan isoman, kita mengadopsi ketentuan dari WHO dan Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC).
Yaitu 10 hari bagi yang terkonfirmasi positif tapi tidak merasakan gejala apapun. Bagi yang merasakan gejala ringan, maka isoman dilakukan 10 hari sejak muncul gejala, ditambah minimal 3 hari bebas dari demam dan gangguan pernapasan. “Jadi total 13 hari, dengan syarat kondisi klinis baik,” imbuh dr. Ronald. Bila masih ada gejala pada hari kesepuluh, maka isoman dilanjutkan hingga 3 hari setelah gejala hilang.
Itulah 3 perbedaan antara Omicron dan Delta. Keluhan yang terjadi akibat Omicron memang cenderung lebih ringan dibandingkan Delta. “Tapi bukan berarti kita bisa santai. Omicron tetap bisa berkembang menjadi severe bahkan critical. Tetaplah waspada,” pungkas dr. Ronald. (nid)
_____________________________________________
Ilustrasi: Background photo created by tirachardz - www.freepik.com