Penelitian terbaru dari Blue Cross Blue Shield Association (BCBSA) menyatakan generasi milenial menjadi kurang sehat seiring bertambahnya usia. Generasi milenial yang berusia 34-36 tahun pada 2017 11% kurang sehat dibanding generasi X yang berusia 34-36 tahun pada 2014.
Meskipun tampaknya generasi milenial lebih melek dan berinvestasi lebih besar pada kesehatan daripada generasi sebelumnya (generasi X), temuan dari Blue Cross Blue Shield Association (BCBSA) menunjukkan generasi milenial secara umum akan kurang sehat seiring bertambahnya usia.
Riset tersebut menyebutkan 10 kondisi kesehatan yang akan banyak mempengaruhi generasi milenial, yakni :
- Depresi
- Gangguan akibat penggunaan zat
- Ketergantungan alkohol
- Hipertensi
- Hiperaktif
- Kondisi psikotik
- Penyakit Crohn dan colitis
- Kolesterol tinggi
- Ketergantungan tembakau
- Diabetes mellitus tipe 2
" 10 kondisi teratas yang mempengaruhi kaum milenial tidak terlalu mengejutkan, yang mengejutkan adalah tingkat prevalensi untuk masing-masing kondisi ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya," terang Dr. Vincent Nelson, wakil presiden urusan medis untuk BCBSA.
Generasi milenial yang berusia 34-36 tahun pada 2017 ternyata 11% kurang sehat dibanding generasi X yang berusia 34-36 tahun pada 2014.
Tetapi tetap, 83% dari 55 juta orang milenial yang disurvei tahun 2017 menganggap diri mereka sehat atau sangat sehat, meskipun analisa BCBSA mengatakan sebaliknya.
Waspadai gangguan mental
Ketika dibandingkan dengan populasi secara umum, generasi milenial lebih terpengaruh oleh kondisi kesehatan mental daripada kesehatan fisik, dengan peningkatan tertinggi ada pada depresi berat dan hiperaktif.
Depresi berat, gangguan akibat penyalahgunaan zat, dan ketergantungan alkohol adalah tiga kondisi teratas dalam survei BCBSA.
Menurut Deborah Serani, PsyD, profesor di Adelphi University, New York, AS, terdapat beberapa faktor yang memicu tingginya gangguan mental dan perilaku pada generasi milenial ini.
1. Sangat melek teknologi. Akibat teknologi inilah anak muda milenial adalah generasi pertama yang tumbuh tanpa belajar bagaimana mempertahankan kontak mata, mahir membaca ekspresi wajah atau memperdalam kesadaran mereka akan emosi sendiri atau orang lain.
2. Overload media. Prof. Serani mengatakan, karena ‘ledakan’ informasi di internet menciptakan siklus berita selama 24 jam, yang memungkinkan anak-anak milenial mengakses berita yang tidak ramah.
"Berita terorisme, bencana alam, atau malapetaka sekarang tersedia sepanjang waktu," kata Serani. "Perasaan tidak berdaya, putus asa, dan ketakutan mengenai peristiwa-peristiwa itu meresap ke dalam dunia anak milenial."
3. Semua orang harus menang. Prof. Serani mengatakan, belajar bagaimana ‘menang’ atau ‘kalah’ digantikan oleh tombol ‘reset’ dan ‘pause’.
“Setiap orang harus mendapatkan ‘piala’. Ini akan menghambat cara alami menghadapi kegagalan dan membangun ketahanan. Akibatnya banyak generasi milenial kesulitan mentolerir peristiwa yang membuat stres, mudah frustasi dan menghindari tuntutan agar tidak merasa kewalahan,” terang Prof. Serani.
4. Kedua orangtua bekerja. Saat semakin banyak ditemui ayah dan ibu yang sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ini membuat perubahan yang tidak ditemukan pada generasi X.
“Tidak memiliki ‘kemewahan’ yang dimiliki generasi sebelumnya, seperti waktu makan malam keluarga, jam kerja yang dapat diprediksi, serta waktu akhir pekan bersama. Ini menciptakan dunia yang lebih sepi bagi kaum milenial,” katanya Serani. (jie)