Dalam penelitian terbaru dijelaskan bila sekitar 5% orang Indonesia menderita gagal jantung. Jumlah itu setara dengan 13 juta orang dari total populasi. Fakta lain juga terungkap bila wanita lebih rentan mengalami gagal jantung berat.
Penelitian yang dipublikasikan di International Journal of Cardiology tersebut diambil dari 2103 pasien gagal jantung, di 10 rumah sakit di Indonesia.
Walau gagal jantung lebih sering terjadi pada pria (66%) daripada wanita (34%), “Prognosis gagal jantung pada perempuan lebih jelek,” ujar dr. Siti Elkana Nauli, SpJP(K), Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Gagal Jantung Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
Data juga mencatat sekitar 60% perempuan dan 56% laki-laki di bawah usia 50 tahun mengalami gagal jantung. 17,2% pasien gagal jantung di Indonesia meninggal saat perawatan rumah sakit; 11,3% meninggal dalam 1 tahun perawatan; dan 17% akan mengalami rawat inap berulang.
Padahal pasien gagal jantung yang lebih sering rawat inap memiliki harapan hidup yang lebih rendah. “Semakin sering dirawat berarti makin banyak kerusakan otot jantung. Mungkin juga awalnya tidak ada kerusakan fungsi ginjal, kemudian menjadi ada (kerusakan ginjal),” terang dr. Nauli, dalam seminar Berdamai dengan Gagal Jantung, Selasa (31/5/2022).
Tercatat ada tiga penyakit penyerta tertinggi yang mengakibatkan komplikasi gagal jantung: hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK) dan diabetes.
Ketiga penyakit tersebut menyebabkan otot jantung rusak; menjadi sangat lemah (berkurang kemampuannya memompa darah), atau menebal dan kaku (berkurang kapasitas jantung menerima darah).
Rendahnya volume darah yang dipompa jantung, tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen. Terjadilah gagal jantung.
Wanita lebih berat
Secara khusus, dr. Nauli menyoroti lebih banyak pasien wanita yang ditemukan dalam kondisi gagal jantung berat. Pasalnya, selama perjalanan hidupnya, jantung perempuan lebih banyak terbebani.
Salah satunya adalah selama kehamilan. “Sekitar 10% wanita yang menderita gagal jantung disebabkan oleh kerusakan otot jantung (kardiomiopati) akibat kehamilan,” imbuhnya. “Kadang deteksinya terlambat. Kaki bengkak dianggap biasa, efek hamilnya, tapi kok terus-terusan.”
Selain itu banyak pasien gagal jantung wanita tidak rutin kontrol dengan berbagai alasan, seperti tidak ada yang mengantar (suami di luar kota, dll). Atau, tidak melanjutkan pengobatan gara-gara merasa badannya sudah lebih baik.
“Lebih banyak perempuan yang masuk pada kondisi kaki bengkak, tidak mau makan karena lemah tidak mampu makan banyak. Pasien perempuan yang meninggal di rumah sakit lebih banyak dibanding pria,” rinci dr. Nauli.
Deteksi dini
Penting melakukan deteksi dini gagal jantung, terutama pada kelompok berisiko tinggi (memiliki riwayat keluarga sakit jantung, berusia > 50 tahun, menderita hipertensi, diabetes dan PJK).
Gejala yang tampak seperti:
- Merasa cepat capek akibat asupan oksigen ke jaringan kurang
- Susah bernapas (napas pendek)
- Pembengkakan di kaki dan pergelangan kaki karena penumpukan cairan
- Batuk-batuk di malam hari
- Hilang nafsu makan
- Perut membengkak dan terasa begah
- Tidur lebih nyaman bila menggunakan dua bantal atau lebih
New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung berdasarkan tingkat keparahannya menjadi:
- Gagal jantung tingkat I, bila performa fisik masih tidak terbatas, masih bisa beraktivitas fisik normal.
- Gagal jantung tingkat II, performa fisik agak terbatas, sesak napas saat aktivitas berat.
- Gagal jantung tingkat III, performa fisik sangat terbatas, sesak napas saat aktivitas ringan.
- Gagal jantung tingkat IV, tidak dapat beraktivitas, sesak saat beristirahat.
“Kita wajib mengenali diri sendiri. Misalnya bila dulu kuat naik hingga 3 tingkat, kok sekarang baru 1 tingkat sudah ngos-ngosan,” dr. Nauli menambahkan dengan menekankan pada penderita hipertensi dan diabetes lebih dari 5 tahun wajib untuk periksa kesehatan jantung.
Dengan deteksi dini gagal jantung, seseorang bisa mencegah perburukan penyakit dan meningkatkan harapan untuk hidup normal dan berkualitas. (jie)
Baca: Hipertensi Bisa Sebabkan Gagal Jantung, Bagaimana Mengelola Di Masa Pandemi?