Prevalensi hipertensi di Indonesia tahun 2018 berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia ≥ 18 tahun sebesar 34,1%. Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebanyak 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian akibat hipertensi sebesar 427.218 kematian.
Hipertensi tidak hanya terjadi pada usia tua (>50 tahun) tetapi juga mereka yang lebih muda. Data menyatakan kejadian hipertensi pada kelompok umur 31-44 tahun sebanyak 31,6%, dan usia 45-54 tahun sekitar 45,3%.
Hipertensi disebut sebagai ‘pembunuh senyap alias silent killer’ kerena kerap kali tidak bergejala. Hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan mulit organ, jantung salah satunya. Bisa menyebabkan gagal jantung.
Gagal jantung merupakan keadaan di mana jantung tidak dapat memompa darah ke seluruh tubuh dengan baik. Secara umum gagal jantung bisa disebabkan oleh hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner dan kolesterol tinggi.
“Gagal jantung karena hipertensi bisa berujung pada kematian,” tegas dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), dari RS Jantung Harapan Kita, dalam seminar virtual Kelola Hipertensi, Cegah Gagal Jantung dan Kematian, Kamis (12/11/2020).
Gagal jantung karena hipertensi bisa memberat secara bertahap dalam jangka panjang. Hipertensi menyebabkan pembuluh darah menyempit dan kurang elastis, membuat darah lebih sulit mengalir ke seluruh tubuh. Sebagai kompensasi, jantung harus bekerja lebih berat.
“Untuk memompa darah melawan tekanan yang lebih tinggi di pembuluh, jantung harus bekerja lebih keras sehingga terjadi penyempitan arteri sehingga darah lebih sulit mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh,” terangnya.
Seiring waktu beban kerja jantung yang lebih tinggi membuat dinding ruang pompa jantung menebal (left ventricular hypertrophy). Meski masih bisa memompa darah, imbuh dr. Ario, justru menjadi kurang efisien. Semakin besar jantung, semakin sulit bekerja optimal.
Mengelola hipertensi
Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.
Hipertensi dapat dikelola dengan baik agar mencapai tekanan darah yang lebih rendah, tetapi tidak lebih rendah dari 120/70 mmHg; termasuk bagi mereka yang berusia > 65 tahun.
Bagi individu dengan tekanan darah 130 -139 /80 -89 mmHgm direkomendasikan untuk intervensi perubahan gaya hidup, dan penambahan terapi obat jika terbukti adanya penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner.
Pengaturan pola hidup dengan membatasi konsumsi garam, perbanyak konsumsi serat, penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal, olahraga teratur dan berhenti merokok.
Selain itu kepatuhan dalam menjalani pengobatan, pengukuran tekanan darah secara benar dan berkala sangat penting.
“Pasien jantung harus mengelola hipertensinya dengan baik agar tidak terjadi gagal jantung dan kematian. Dokter akan merekomendasikan pemakaian obat pengendali darah tinggi secara kombinasi sejak awal pengobatan untuk mencapai tekanan darah sesuai target,” terang dr. Ario.
Apa yang perlu dilakukan selama pandemi?
Dr. Ario menjelaskan bahwa pada intinya ada dua hal. Pertama, bagi pasien hipertensi isolasi mandiri, obat hipertensi harus tetap diminum (tidak boleh dihentikan), melakukan monitoring tekanan darah sendiri di rumah dengan Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM) atau home blood pressure monitoring (HBPM).
Baca : Bagaimana Cara Lakukan Cek Tekanan Darah Mandiri
Tidak diperlukan evaluasi klinik rutin. Konsultasi dengan dokter dapat dilakukan via telepon atau melalui video bila diperlukan.
Kedua, bagi pasien hipertensi dengan COVID-19 positif rawat inap, pasien harus tetap mengkonsumsi obat anti-hipertensi (tidak boleh dihentikan), tidak perlu mengganti jenis obat anti hipertensi.
“Monitoring aritmia yang sering terjadi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung, cek kadar kalium karena rendahnya kadar kalium dalam darah (hypokalemia) sering terjadi pada pasien COVID-19 yang dirawat,” pungkasnya. (jie)