obat covid-19 unair perlu transparansi proses uji klinis

Tentang Obat COVID-19 dari Unair, Pakar : Perlu Transparansi Proses Laporan Uji Klinis

Belakangan ini, masyarakat digaduhkan dengan racikan obat yang diteliti oleh tim dari Universitas Airlangga (Unair) yang diklaim efektif membunuh virus COVID-19. Publik pun berharap banyak pada obat tersebut, sementara sejumlah ahli menyangsikannya. Para pakar menyatakan perlunya transparansi proses laporan uji klinis.

Dalam akun Twitter resminya, dr. Pandu Riono, MPH, PhD, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan diperlukan transparasi proses dan laporan uji klinis obat COVID-19 yang dilakukan tim Unair agar akademisi dan publik bisa menilainya.

“Hasilnya harus dilaporkan lengkap sesuai standar oleh tim peneliti ke BPOM. Perlu evaluasi semua proses penelitian sampai hasil dan simpulannya,” cuitnya.  

Dalam serangkaian komentar, keraguannya  juga mengemuka bila riset tersebut sudah dilakukan sesuai standar penelitian ilmiah. Ia menulis: “Yakinkah kita bahwa tim peneliti Unair, dkk., melakukan riset obat COVID-19 sesuai etika dan prosedur ilmiah yang standar, yaitu uji klinis dengan randomisasi tersamar ganda? Yakinkah tentang validasinya? Banyak yang ragu, tidak bisa dipercaya, tidak diawasi oleh komite etik.

Randomisasi tersamar ganda atau randomized double blind placebo control (RDBPC) dianggap sebagai standar penelitian epidemiologi terbaik. Di mana pemberian intervensi secara acak dapat menghilangkan pengaruh variabel perancu (tidak diketahui / tidak dapat diukur) yang bisa menyebabkan hasil yang salah/bias.  

“Lakukan riset dengan baik, bukan sekedarnya saja. Agar hasilnya valid dan bermanfaat maksimal bagi publik. Kita harus akui banyak riset yang asal jadi, kejar popularitas, mumpung ada duit, dan mumpung-mumpung lainnya. Tidak ada inovasi, hanya polesan palsu, bukan kebenaran,” tegasnya.  

Ia menambahkan, kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dapat menurun bila tidak ada keterbukaan pada respon pandemi, termasuk uji obat dan vaksin yang berdampak pada kebijakan publik dan menggunakan dana publik.

Kaidah ilmiah

Dalam suatu penelitian, kaidah ilmiah dan etika riset sangat penting, salah satunya penyampaian hasil riset dalam jurnal ilmiah agar bisa dibaca / dikritisi ilmuwan lain.

Menurut Dicky Budiman, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, akibat pengabaian sekecil apapun terhadap aspek transparansi hasil riset obat berdampak merugikan dan berbahaya.

Misalnya penggunaan obat Tamiflu pada pandemi flu burung dan flu babi yang lampau. Menurut Dicky riset obat tersebut tidak transparan sejak awal, tetapi tetap dipaksakan menjadi obat karena beragam faktor.

“Barulah pada 2013 dan 2014 ditemukan banyak efek samping fatal, yaitu kematian pada anak dan juga gangguan mental dan neurologis,” katanya dilansir dari Kompas.

Belum ada obat spesifik untuk COVID-19

Sementara itu dalam perbincangan yang diadakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek/BRIN, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, mengatakan hingga saat ini belum ada satu pun obat spesifik yang bisa diklaim sebagai penyembuh Virus SARS-CoV-2, termasuk imunomodulator yang sedang dikembangkan oleh konsorium.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun belum mengeluarkan satu penyataan resmi tentang obat spesifik yang direkomendasikan untuk dipakai, tetapi masih dalam status uji klinis.

Saat ini, pengobatan terhadap pasien COVID-19 disesuaikan dengan derajat keparahan, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, pneumonia berat, sampai kritis. Hal tersebut dikarenakan masing-masing keparahan memiliki pilihan obat apa berdasarkan konsensus dan kesepakatan dari para ahli. Pada pasien tanpa gejala cukup dengan vitamin. (jie)

Baca juga : Kenapa Para Ahli Berseberangan Tentang Obat Anti COVID-19 dari Unair