Sebagian orang menganggap demensia atau kepikunan wajar terjadi di usia tua. Walau pandangan ini tidak tepat, ternyata tekanan pekerjaan turut berperan memicu demensia di usia tua.
Sebagai gambaran, demensia merupakan penyebab kematian ke-7 di dunia, dan setiap tiga detik seseorang mengalami kondisi tersebut. Secara global, diperkirakan ada lebih dari 55 juta orang yang hidup dengan kondisi tersebut saat ini, hanya dalam waktu 5 tahun angka ini akan meningkat menjadi 78 juta dan meningkat menjadi 139 juta di tahun 2050.
Pada tahun 2050, 4 Juta orang di Indonesia diperkirakan akan hidup dengan demensia, meningkat lebih dari 300% dari perkiraan saat ini sebesar 1,2 juta orang.
Bisa jadi peningkatan ini turut didorong oleh gaya hidup modern yang dilakukan secara bertahun-tahun, di mana seseorang cenderung sedentari (kurang bergerak), lebih kerap mengonsumsi makanan tinggi garam-gula-lemak, dan workaholic dengan tekanan / stres pekerjaan yang tinggi.
Riset mengindikasikan bila stres bisa berperan dalam pembentukan atau progresi demensia, tetapi tidak selalu menjadi penyebab langsung. Stres kronis (berlangsung lama) bisa berdampak serius pada mental, emosional dan fisik.
Kenapa stres dihubungkan dengan demensia?
Dari sisi fisik, Dr. dr. Dodik Tugasworo P, SpS(K)MH, Ketua PP PERDOSNI (Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia) menjelaskan stres, hidup penuh tekanan bisa memicu stroke.
Di satu sisi, “Demensia bisa disebabkan oleh vaksuler - disebut demensia vaskuler. Kalau yang karena vaskuler itu sama dengan stroke, jadi kalau pembuluh darahnya terganggu, sehingga otaknya akan terganggu (mempengaruhi daya ingat dan fungsi kognitif),” terang dr. Dodik kepada OTC Digest. “Dan jika kita lihat dengan MRI atau CT scan, otaknya akan mengecil (atrofi).”
Selain itu, melansir laman Alzheimer’s Society, penelitian menjelaskan ada banyak alasan kenapa stres bisa memicu demensia. Stres kronis bisa berpengaruh pada sistem imun, yang diketahui juga berperan penting pada pembentukan demensia.
Kortisol, hormon yang dilepaskan saat stres, dikaitkan dengan masalah daya ingat. Stres kronis juga berhubungan erat dengan kecemasan dan depresi. Hal in juga telah diketahui sebagai faktor yang akan meningkatkan risiko demensia.
Namun, masih banyak yang harus dipahami terkait mekanisme yang mendasari hubungan antara stres dan risiko demensia.
Riset yang didanai Alzheimer’s Society menguji orang-orang di awal penelitian, dan kemudian melacak kemampuan berpikir mereka, dan apakah ada peserta yang mengalami demensia. Di awal studi, mereka yang dengan masalah ingatan dan berpikir memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, dibandingkan partisipan yang sehat.
Tetapi, tingkat stres yang dirasakan tidak sesuai dengan seberapa besar kemampuan berpikir mereka menurun, atau apakah mereka mengalami penyakit Alzheimer (bentuk demensia yang lebih parah). Hal ini diduga karena kadar kortisol di otak tampak berkurang saat kemampuan berpikir menurun.
Riset lain dilakukan pada penderita PTSD (gangguan stres pasca trauma). Peneliti menemukan bahwa orang dengan PTSD dua kali lebih berisiko menderita demensia. Namun yang perlu dicatat, bahwa mengalami PTSD tidak berarti Anda pasti akan menderita demensia.
Mencegah demensia
Dr. Dodik menyarankan, “Yang paling penting untuk mencegah seseorang menjadi demensia adalah sejak dini kita harus menjalani pola hidup sehat dan membaca.”
“Di banyak penelitian orang yang banyak membaca dan hidup sehat itu cukup baik. Kalau kita lihat para rohaniawan itu karena ia membaca kitab-kitab, hidupnya bagus (tidak mengalami demensia),” pungkasnya. (jie)
Baca juga: Deteksi Dini dan Kenali Gejala Demensia Alzheimer