“Waktu menjadi menteri saya sibuk baca laporan, tidak pernah tidak baca. Dan sejak tidak menjadi menteri membaca adalah pekerjaan saya. Saya harus membaca untuk menyiapkan materi kuliah.”
Kalimat itu diucapkan oleh Prof. Emil Salim, MA, PhD, cendekiawan, pengajar dan mantan menteri di era Orde Baru. Ia bercerita bagaimana awalnya mengalami masalah degenerasi makula.
“Dulu sekitar tahun 1994, saat sedang membaca bagian fokus (bagian tengah) tulisan itu kabur, padahal sekitarnya jelas.” Kejadian penglihatan kabur ini makin sering terjadi, bahkan saat melakukan aktivitas lain.
“Saat itu dibawa ke RSCM diketahui kalau ini adalah AMD. Dokter bilang, mata saya harus diobati dengan cara ditusuk (disuntik). Kaget saya. Masa ditusuk. Yang panik bukan saya saja, seisi rumah panik waktu itu.”
“Dari tahun 1990-an itu sampai sekarang saya masih rutin periksa mata. Buku periksa saya itu kalau dikumpulkan bisa berjilid-jilid. Dan kalau harus ditusuk ya sudah ikut saja.”
“Percaya ke dokter. Kalau dokter ngomong apa, ikuti saja tidak perlu tanya kenapa. Karena mereka yang lebih tahu. Banyak penyakit yang bisa diobati jika diketahui sedini mungkin. Penyakit bisa dihindari dengan pengecekan berkala,” ujar mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (2010-2014) ini.
Prof. Emil adalah satu dari sekitar 196 juta penderita degenerasi makula terkait usia (Age-related Macular Degeneration/AMD) di seluruh dunia. Laporan jurnal Nature tahun 2020 memperkirakan akan ada sekitar 288 juta orang menderita AMD di tahun 2040, seiring meningkatnya jumlah populasi lansia.
Pada AMD terjadi kerusakan di bagian tengah rentina, disebut makula/bintik kuning (pusat penglihatan). Menyebabkan kehilangan penglihatan sentral (bagian tengah area pandang).
AMD merupakan penyebab kebutaan ketiga di dunia, setelah katarak dan kelainan refraksi. Dan penyebab kebutaan utama pada usia 50 tahun ke atas. Risikonya semakin bertambah setiap dekade setelah usia 50 tahun.
Dr. dr. Gitalisa Andayani Adriono, SpM(K), dari Divisi Vitreo-retina, Dept. Ilmu Kesahatan Mata FKUI-RSCM Kirana, Jakarta, menegaskan terlalu sering membaca tidak memicu degenerasi makula (AMD).
“Membaca – termasuk menatap layar gawai dan komputer – menyebabkan mata kurang berkedip karena konsentrasi sehingga mata kering. Membaca tidak merusak bagian dalam bola mata, termasuk retina,” katanya dalam peringatan Hari Penglihatan Sedunia, Kamis (14/10/2021).
Membaca dan melihat dekat, imbuh dr. Gita akan meningkatkan risiko mata minus, terutama untuk anak-anak.
Pada degenerasi makula, ganguan penglihatan mulai dari distorsi bentuk (garis lurus terlihat melengkung), penglihatan buram, bagian tengah penglihatan berwarna hitam (scotoma) hingga penglihatan mendadak terhalang.
“Pasien akan kehilangan kemampuan melihat detail halus, sulit membaca, menulis, bahkan tidak dapat melihat wajah orang di depannya,” kata dr. Gita.
Degenerasi makula ini belum diketahui secara jelas penyebabnya. Tetapi penelitian mengindikasikan akibat kombinasi faktor keturunan dan lingkungan, termasuk pola makan tidak sehat, obesitas, darah tinggi, merokok, dan paparan ultraviolet dalam waktu lama.
Degenerasi makula berisiko tinggi diderita oleh mereka yang berusia 50 tahun lebih, memiliki riwayat keluarga dekat menderita AMD, merokok (meningkatkan risiko AMD 2-5x lipat), terpapar sinar ultraviolet berkepanjangan, obesitas, menderita hipertensi, diet tinggi lemak dan rendah antioksidan.
Tak bergejala hingga sebabkan kebutaan
Umumnya AMD di tahap awal tidak bergejala. Seiring waktu mulai timbul gangguan penglihatan.
Degenerasi makula terbagi menjadi AMD kering dan AMD basah. Sebagian besar (90%) pasien AMD adalah tipe kering, di mana kerusakan makula terjadi bertahap selama bertahun-tahun.
Terdapat endapan kuning (drusen) di makula mata. Beberapa drusen kecil mungkin tidak menyebabkan gangguan penglihatan. Saat drusen bertambah banyak/besar gangguan muncul, sel-sel makula menjadi lebih tipis dan akhirnya mati.
AMD tipe kering biasanya tidak mengakibatkan kehilangan penglihatan total. Tetapi sekitar 10-15% berkembang menjadi AMD basah yang lebih berat.
Pada AMD tipe basah terjadi pertumbuhan pembuluh darah abnormal di makula. Pembuluh darah ini bocor mengalirkan darah dan cairan ke retina, yang akhirnya terbentuk jaringan parut di makula menyebabkan hilangnya penglihatan sentral.
Ini berakibat pada penurunan aktivitas sehari-hari, masalah mobilitas, peningkatan risiko terjatuh, patang tulang dan depresi pada orang tua. Bila tidak diobati risiko kebutaan hingga 90%.
“Tanpa penanganan dini dan berkelanjutan, AMD akan terus memburuk dari waktu ke waktu, terutama degenerasi makula tipe basah,” tukas dr. Gita. “Kebutaan akibat AMD menurunkan kualitas hidup setara penyakit kronis lain, seperti kanker tahap akhir atau stroke dengan kelumpuhan.”
Deteksi, pengobatan dan pencegahan
Dr. M. Sidik, SpM(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Pusat menjelaskan, ada cara sederhana untuk mendeteksi AMD.
“Yakni dengan hitung jari dari jarak 6 meter. Jika ada masalah segeralah ke fasilitas kesehatan terdekat. Deteksi dini menentukan prognosis penyakit,” ujarnya.
Dianjurkan melakukan pemeriksaan mata rutin setahun sekali sejak usia >40 tahun, terutama mereka dengan risiko tinggi. Bila sudah memiliki gejala AMD kering periksa tiap 3-6 bulan sekali, salah satunya menggunakan Amsler grid.
Deteksi dini akan meminimalkan beban biaya pengobatan AMD. Studi di Korea Selatan (2021) menunjukkan pasien AMD eksudatif memiliki total biaya 4 kali lebih besar dibanding kelompok non AMD.
“Orang dengan gangguan penglihatan tidak hanya alami gangguan penglihatan, tetapi juga penurunan kualitas hidup dan ekonomi,” tegas dr. Sidik.
Terkait pengobatan, hingga saat ini belum ada obat yang efektif untuk AMD tipe kering. Tetapi penelitian menunjukkan konsumsi suplemen antioksidan - mengandung vitamin A, E, zinc, selenium, lutein dan zeaxanthin – bisa memperlambat degenerasi makula.
Pada AMD tipe basah pengobatan menggunakan anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor; protein alamiah yang merangsang pembentukan pembuluh darah baru). Disuntikkan ke bola mata untuk menghambat pembentukan pembuluh darah abnormal, dan mencegah kerusakan makula lebih lanjut.
Studi ALTAIR di tahun 2020 menunjukan bahwa terapi Aflibercept (anti-VEGF) dapat memperpanjang jarak pengobatan dengan penyesuaian 2 - 4 minggu. Terjadi perbaikan penglihatan pada pasien yang sebelumnya belum pernah menggunakan pengobatan selama 52 minggu.
Studi ini menunjukan bahwa 40% pasien bisa berobat 4 bulan sekali, dan 60% lainnya 3 bulan sekali – dimana yang sebelumnya pasien harus diobati setiap 2 bulan.
Sebagai pencegahan, dr. Gita menganjurkan konsumsi makanan tinggi antioksidan, pakai kacamata dan topi bila beraktivitas di luar ruangan, stop merokok, kontrol berat badan dan tekanan darah.
AMD tidak bisa disembuhkan (penglihatan normal 100%), tetapi dikontrol dan dihambat progresi penyakitnya. “Perlu disiplin kontrol dan pengobatan sesuai jadwal, karena melewatkan satu janji (kontrol) bisa berdampak negatif,” pungkas dr. Gita. (jie)