Sejak pandemi COVID-19 vitamin D menjadi tambah terkenal sebagai vitamin yang bisa meningkatkan sistem imun dan mengurangi keparahan infeksi. Tetapi sebenarnya berapa banyak kita butuh vitamin D?
Selama ini vitamin D dikenal sebagai vitamin pembentuk tulang. Tetapi penelitian menyatakan bila vitamin D memiliki reseptor hampir di seluruh bagian tubuh. Ini membuatnya tidak hanya bermanfaat untuk tulang, tetapi juga kesehatan sel menyeluruh, termasuk imunitas.
Secara kimiawi, bentuk aktif vitamin D ada dua, yakni vitamin D2 dan D3. Vitamin D3 lebih stabil dan aman digunakan sebagai suplemen. Vitamin D menghambat ekspresi dan mengurangi transkripsi beberapa sitokin (protein) proinflamasi. Di sisi lain, vitamin D juga meningkatkan sitokin T helper yang bersifat antiinflamasi.
Walau paparan sinar UV melimpah di Indonesia, faktanya sebagian besar kadar vitamin D dalam darah masyarakat Indonesia rendah. WHO pernah menyampaikan bahwa rata-rata kadar vitamin penduduk Indonesia hanya 17,2 ng/ml (nanogram per milliliter).
American Association of Clinical Endocrinologist mengategorikan kadar vitamin D dalam darah < 20 ng/ml sebagai defisiensi (kekurangan); 20 – 30 ng/mL adalah insufisiensi (tidak cukup); dan cukup apabila kadarnya antara 30-100 ng/mL (dengan nilai optimal >50 ng/mL).
Menurut Dr. dr. Indra Wijaya, M.Kes, SpPD-KEMD, FINASIM, dari RS Premier Bintaro, pada banyak kasus di Indonesia, kadar vitamin D tetap rendah walau kerap berjemur sinar matahari.
“Muka sampai hitam tapi vitamin D-nya malah turun. Metabolisme tiap orang berbeda-beda, ini yang mempengaruhi penyerapan vitamin D, apalagi bila ada gangguan ginjal dan obesitas vitamin D-nya jelek,” imbuhnya. “Selama pandemi tetap disarankan berjemur, tetapi juga ditambah suplementasi.”
Dalam sebuah penelitian di luar negeri, tukas dr. Indra, dibuktikan bila suplementasi vitamin D3 dosis tinggi sesaat sebelum dan saat terkena COVID-19 berhubungan kuat dengan berkurangnya keparahan infeksi, dan peningkatan survival rate.
Pada riset di Indonesia yang dilakukan oleh Prabowo Raharusun, dkk, terhadap 780 pasien COVID-19, setelah mengesampingkan faktor usia, jenis kelamin dan komorbiditas, menyimpulkan bila dibandingkan dengan pasien COVID-19 yang memiliki status vitamin D normal, risiko kematian meningkat 10,12 kali pada pasien yang mengalami kekurangan vitamin D.
Badan POM pada Agustus 2020 juga menyatakan meningkatnya defisiensi vitamin D menyebabkan kebutuhan suplementasi vitamin D 1000 IU (International Unit) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan vitamin D pada kondisi tertentu, seperti pandemi COVID-19.
Rekomendasi asupan vitamin D harian adalah 400 IU untuk anak hingga usia 1 tahun, 600 UI untuk 1-70 tahun, dan 800 IU bagi 70 tahun ke atas. Beberapa penelitian menyarankan dosis yang jauh lebih besar untuk berbagai manfaat kesehatan (tidak hanya untuk mencegah defisiensi vitamin D).
Apt. Audrey Clarissa, President of Asian Young Pharmacist Group menjelaskan “Suplementasi vitamin D 1000 IU masih aman dikonsumsi tiap hari.”
The National Institute of Health menyatakan batas atas konsumsi suplemen vitamin D adalah 4000 IU. Konsumsi suplemen vitamin D dosis tinggi harus berdasarkan rekomendasi dokter.
Keracunan vitamin D
Perlu diwaspadai karena kadar vitamin D dalam darah di atas normal bisa menyebabkan keracunan. Berisiko menimbulkan mual, muntah, kelemahan otot, kebingungan, hilang selera makan, dehidrasi hingga batu ginjal.
Selain itu dalam jurnal Frontiers in Endocrinology disebutkan kadar vitamin D yang terlalu tinggi bisa menyebabkan gagal ginjal, gangguan irama jantung hingga kematian.
Walaupun jarang terjadi, namun hal tersebut pernah terlihat pada mereka yang mengonsumi suplemen vitamin D dosis sangat tinggi dalam waktu lama.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan vitamin D
Ada beberapa hal yang telah diketahui mempengaruhi penyerapan vitamin D, yakni:
- Berat badan. Jika Anda memiliki indeks massa tubuh di atas 30, Anda mungkin memiliki kadar vitamin D dalam darah yang rendah. Vitamin D disimpan dalam lemak, jadi pada orang dengan obesitas, lebih sedikit vitamin yang beredar dalam darah, yang tersedia untuk digunakan oleh tubuh.
- Makanan yang Anda konsumsi. Sangat sedikit makanan yang secara alami mengandung vitamin D. Beberapa diantaranya adalah jamur, kuning telur, ikan, serta susu atau sereal yang difortifikasi vitamin D.
- Kondisi kesehatan tertentu. Orang dengan kondisi medis seperti radang usus, penyakit hati, atau fibrosis kistik, mungkin mengalami kesulitan menyerap vitamin D, yang dapat menyebabkan kekurangan vitamin ini.
- Usia. Kemampuan kulit Anda untuk memproduksi vitamin D menurun seiring bertambahnya usia. Jika Anda berusia di atas 65 tahun, Anda hanya menghasilkan seperempat vitamin D sebanyak yang Anda lakukan di usia 20-an.
- Warna kulit. Mereka dengan kulit lebih gelap biasanya memiliki kadar vitamin D yang lebih rendah daripada orang yang berkulit lebih terang. (jie)