RSWT, Terapi Gelombang Kejut untuk Atasi Tendinitis
terapi_tendinitis

RSWT, Terapi Gelombang Kejut untuk Atasi Tendinitis

Cara mengatasi tendinitis berbeda-beda, sesuai dengan kondisi tendinitis yang mendera. “Pada kondisi akut, harus dilakukan prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation),” ujar dr. Laura Djuriantina, Sp.KFR. Sendi yang sakit diistirahatkan, dikompres dan diangkat, serta obat untuk mengurangi proses inflamasi.

Injeksi/suntikan kortikosteroid bisa digunakan, tapi harus dilakukan oleh dokter yang ahli dalam bidang tersebut. “Kortikosteroid seperti ‘obat dewa’ yang bisa instan menghilangkan berbagai keluhan termasuk nyeri, namun efek sampingnya harus dipertimbangkan,” lanjut dr. Laura. Bila injeksi berulang dilakukan oleh orang yang kurang ahli, bukan manfaat yang didapat, malah muncul efek samping. Salah satu kemungkinan terburuk, tendon bisa putus.

Bila diperlukan, dokter akan memberi terapi fisik. Misalnya fisioterapi dengan bermacam alat. Modalitas terapi panas bisa dilakukan, dan bila kondisi sudah demikian kronis, ujungnya yakni pembedahan.

Pilihan terbaru yakni terapi dengan RSWT (radio shock wave therapy). Ini adalah generasi baru dari ESWL (extra shock wave lithotripsy), yang jamak digunakan untuk ‘menembak’ batu ginjal, dengan fokus ke satu titik. “RSWT sebaliknya; alat ini memakai gelombang kejut bertekanan tinggi, yang akan menyebar saat masuk ke jaringan tubuh, bukan ke satu titik,” jelas dr. Laura.

Di dalam tubuh, RSWT bekerja dengan menstimulasi jaringan saraf untuk mengaktifkan mekanisme penghambat nyeri yang ada pada tubuh. “Gelombang kejut juga akan merangsang terjadinya perubahan kimia sehingga tubuh memproduksi endorfin, neurotransmitter yang menimbulkan perasaan rileks dan nyaman, sehingga terjadi penurunan sensitivitas nyeri pada tubuh,” tuturnya.

RSWT bisa menjadi pilihan saat terapi dengan obat dan fisioterapi gagal. Bisa juga menjadi pilihan pertama. Terapi dengan RSWT biasanya dilakukan 4-6 kali, dengan jarak antar terapi 1-2 minggu. “Semua dilakukan sesuai kondisi pasien. Bila setelah terapi ketiga nyeri sudah jauh berkurang atau hilang, terapi bisa dihentikan,” lanjut dr. Laura.

Penelitian di Jerman untuk kasus nyeri di tumit menunjukkan hasil yang sangat baik: 81% pasien dalam <12 minggu sudah bebas dari nyeri atau nyeri berkurang secara signifikan. Berdasarkan pengalaman dr. Laura, rerata nyeri turun dari derajat 7-8 menjadi 3 setelah dilakukan beberapa kali terapi. Ada pasiennya yang derajat nyerinya berkurang dari 8 menjadi 2, dengan 3x terapi.

Penelitian-penelitian di jurnal ilmiah menunjukkan, kalsifikasi juga hilang dalam waktu <1 tahun. “Kalau nyeri, pasti akan hilang lebih dulu karena memang target kita adalah pain-free, bukan menghilangkan kalsifikasi,” tandasnya.

Perlu diingat, nyeri bisa kambuh lagi bila kita kembali melakukan aktivitas repetitif penyebab tendinitis. Untuk mencegahnya muncul lagi, hindarilah – atau paling tidak kurangi aktivitas tersebut. Hindari membawa tas yang terlalu berat dan ditenteng hanya pada satu sisi. Letakkan tumpuan secara bergantian, atau beban dibagi rata menjadi dua tas. “Untuk para atlet, lakukan pemanasan yang baik dan benar sebelum latihan. Bila nyeri muncul kembali, stop aktivitas apa pun yang memicu nyeri tersebut,” pungkas dr. Laura. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Paper photo created by jcomp - www.freepik.com