Regulasi THR di dunia masih beragam. Di Indonesia, penggunaan produk turunan rokok belum direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan. “Kalau THR menjadi salah satu di strategikan, kami tidak merekomendasikan produk turunan rokok. Langsung saja UBM (upaya berhenti merokok),” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI dr. Siti Nadia Tarmizi.
Fokus Kemenkes saat ini yaitu menurunkan jumlah perokok anak. “Jadi mencegah agar anak tidak merokok, dan mencegah usia perokok pemula jadi semakin muda,” ujar dr. Nadya. Ia melanjutkan, penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa rokok elektronik tidak bisa menghentikan rokok konvensional. “Setelah mereka (perokok) melewati berbagai rasa vape, akhirnya kembali lagi ke rokok karena rasanya lebih enak dan tajam,” tambahnya.
Penggunaan tembakau alternatif sebagai THR memang masih pro kontra, bahkan di kalangan ahli dan pembuat kebijakan. Sebagain pihak menilai, vape dan rokok elektrik bisa merangsang anak muda menjadi perokok di kemudian hari. Namun hal ini dibantah oleh Prof. Tikki Pangestu, peneliti dan mantan Direktur Riset Kebijakan WHO. “Tidak ada buktinya bahwa anak muda yang vaping akan jadi perokok,” tegasnya.
Regulasi THR di Dunia
Regulasi dan situasi dan pendapat terkait penggunaan THR juga masih terpecah di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) termasuk yang kontra. Prof. Tiki sebagai mantan Direktur Riset Kebijakan WHO menyayangkan hal ini. “Saya ingin WHO bisa lebih terbuka terhadap dialog dan diskusi mengenai potensi THR, seperti yang sudah dipaparkan oleh penelitian,” ujarnya.
Ia memaparkan, beberapa negara maju telah berhasil menurunkan prevalensi perokok dengan THR. Salah satunya Selandia Baru. Kementerian Kesehatan Selandia Baru secara aktif mempromosikan penggunaan THR untuk menekan jumlah perokok, dan setelah 6 tahun, prevalensi perokok turun sekitar 5%.
Negara lain yang juga sukses yaitu Inggris, dengan programnya ‘switch to stop’, yang berhasil membuat 30.000 – 40.000orang berhenti merokok per tahun. “Contoh lain di Jepang. Saat penggunaan THR naik, jumlah perokok turun 52%. Ini adalah penurunan yang sangat bersejarah,” tandas Prof. Tiki. Adapun di kawasan ASEAN, Filipina termasuk negara yang cukup progresif dalam memperbolehkan penggunaan THR untuk mmbantu mereka yang ingin berhenti merokok.
Prof. Tiki juga menyayangkan, masih banyak praktisi kesehatan di Indonesia yang antipati terhadap THR. “Di kalangan dokter masih ada yang tidak begitu yakin bahwa ada beberapa produk THR yang risikonya jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional,” ujarnya.
Menurutnya, baik dokter, perokok, anak muda yang bukan perokok, maupun pembuat regulasi harus paham betul manfaat THR. “Regulator harus berupaya mendengarkan bukti-bukti dari pada peneliti sehingga bisa merumuskan kebijakan yang lebih rasional. Tujuan kita semua sama, untuk menurunkan prevalensi atau jumlah perokok. THR adalah salah satu dari berbagai strategi yang tersedia saat ini,” pungkas Prof. Tiki. (nid)
__________________________________________
Ilustrasi: Image by teksomolika on Freepik