Pertolongan Pertama pada Situasi Darurat | OTC Digest

Pertolongan Pertama pada Situasi Darurat

Kondisi gawat darurat dapat menyerang siapa saja, kapanpun, di manapun. Misalnya pada kondisi kecelakaan, kebakaran, bencana alam, serangan penyakit secara mendadak atau pingsan.

P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) sangat penting. Hal pertama yang perlu dilakukan saat menghadapi kegawatdaruratan adalah mencari bantuan, dengan menelepon emergency medical service atau ambulans. Setelah itu, baru kita melakukan sebisa mungkin.

Biasanya mereka yang pernah mendapat pelatihan emergency respon akan dipandu melalui telepon oleh tenaga medis. Kegawatdaruratan  setidaknya dapat dibagi menjadi dua bagian besar: karena trauma (kecelakaan) dan nontrauma (penyakit).

Dari keduanya, prinsip dasar yang harus dilakukan oleh penolong yakni memastikan ABC berjalan lancar:  airway (saluran udara), breathing (pernapasan) dan circulation (sirkulasi).

“Pastikan agar saluran napas penderita tidak tersumbat, baik oleh cairan ludah atau oleh benda asing, agar pasien dapat bernapas dengan baik,” ujar dr. Achmad Riviq Said, SpAn, dari RSIA Bunda, Jakarta.

Saat pasien mengalami penurunan kesadaran, pastikan tetap bisa bernapas. Karenanya, jangan baringkan pasien dengan posisi kepala mendongak ke belakang yang membuat lidah pasien jatuh ke belakang. Posisi tersebut berisiko menyumbat pernapasan.

Jika korban terdengar mendengkur atau ada suara seperti sedang berkumur, berarti banyak cairan yang mengganggu jalan napas. Segera lakukan ‘posisi mantap’ atau recovery position dengan cara memiringkan tubuh korban, seperti memeluk guling. Tujuannya agar lidah terbuka dan cairan mengalir ke bawah.

“Pertolongan ini hanya dapat dilakukan bagi pasien yang bukan karena kecelakaan,” jelas dr. Riviq.

Dapat pula dengan merogoh ke tenggorokan pasien, untuk memastikan misalnya ada sisa makanan yang menyumbat, atau gigi paslu yang terlepas. Sedangkan pada kasus gawat darurat karena kecelakaan, dr. Riviq wanti-wanti agar jangan sembarangan memindahkan korban.

Katanya, “Pastikan leher korban tersangga dengan baik, setelah itu baru pindahkan ke tempat yang aman. Ikuti dengan memeriksa kondisi tubuh korban, untuk mengetahui ada tidaknya patah tulang.

“Bila ada yang patah di bagian leher perlu distabilkan, misalnya dengan memasang penyangga leher (dilakukan setelah ambulans datang). Bila terjadi perdarahan, hentikan dengan cara mengikat di atas daerah luka yang menuju ke jantung menggunakan ikat pinggang, baju atau apa pun yang dapat digunakan.”  

Cek sirkulasi darah dengan meraba nadi. Jika terasa lemah berarti korban bisa jadi akan memasuki kondisi shock, dan membutuhkan perawatan sesegera mungkin.  

Ditambahkan oleh dr. IGA Nari Laksmi Dewi, SpB, ”Sebaiknya korban kecelakaan jangan langsung diberi minum. Tunggu sampai ambulan datang. Tujuannya adalah, jika dibutuhkan tindakan lebih lanjut seperti pembiusan, tidak mengganggu efek bius. Perut pasien akan penuh kalau diberi minum dan bisa muntah saat dibius. Cairan muntahan berisiko masuk ke paru-paru.” 

Memastikan kesadaran

Hal lain yang perlu dilakukan saat menghadapi kondisi kegawatdaruratan adalah memastikan: korban dalam kondisi sadar atau tidak.

Kesadaran korban dapat dilihat dari tiga parameter : kemampuan membuka mata, verbal dan motorik.  Bila korban dapat membuka mata lebar-lebar dan tidak menatap kosong, diikuti dengan verbal (bicara) yang baik dan mampu menggerakkan bagian tubuh, berarti dia  sadar.

Kesadaran dianggap menurun, jika korban harus dibangunkan atau harus mendapat rangsangan nyeri  –  misalnya dicubit -- untuk bisa “connect” kembali.  

“Korban kecelakaan atau yang mengalami trauma (benturan) di kepala, ada risiko terjadi gegar otak atau cedera otak. Untuk melihat keparahan gegar otak, korban perlu diobservasi pada 2 jam pertama,” dr. IGA Laksmi menjelaskan.  

Korban dengan cedera otak ringan masih bisa berkomunikasi lancar saat diajak bicara, namun ia cenderung merasa  ngantuk. Usahakan agar pasien tetap terjaga kesadarannya, dengan terus mengajaknya bicara.

“Korban yang mengalami cedera otak sedang, biasanya akan ngoceh macam-macam, nyambung tidak nyambung. Sementara kalau korban tidak bisa diajak berkomunikasi sama sekali, berarti mengalami cedera otak berat,” katanya.  (jie)

Kalau korban pingsan

Dalam kondisi gawat darurat karena penyakit tertentu – bukan karena kecelakaan – yang menyebabkan korban / pasien pingsan, menurut Heru Budiawan, Manager Operasional ER RSU Bunda Jakarta,yang  perlu dilakukan antara lain:

  1. Tepuk bahu dan tanyakan nama untuk mengecek kesadaran. “Jangan-jangan dia cuma tertidur,” kata Heru.
  2. Bila tidak menjawab, lakukan rangsangan dengan mencubit untuk memberi rangsang nyeri.
  3. Minta pertolongan dengan berteriak, atau hubungi emergency medical service / ambulans. “Ini juga sebagai tindakan jaga-jaga, kalau dibutuhkan saksi. Jangan sampai, niatnya menolong  justru dituduh mencelakakan,” katanya.
  4. Lihat, dengar dan rasakan. Tempelkan telinga ke dada korban, untuk mengetahui pergerakan dada, mendengar dan merasakan napas korban.
  5. Jika ada suara seperti berkumur dari tenggorokan, berarti ada gangguan saluran napas. Segera miringkan. (jie)